Cerpen

Cerpen: “GADIS YANG HILANG” (By Mande Hanifah)

Diane Morris akhirnya ditemukan. Setelah fotonya wara-wiri di layar kaca seminggu lamanya. Tak ada satu pun stasiun berita luput memberitakannya. Setiap hari, hampir setiap jam mereka menayangkan tentang perkembangan kasusnya. Seluruh kota berduka, jutaan kalimat-kalimat doa terlantun untuknya. Orang-orang membicarakannya, bersimpati.

Diane Morris, sang pemandu sorak ditemukan dalam keadaan penuh luka. Polisi menemukannya setelah berhari-hari disekap di ruang bawah tanah oleh seorang pemuda yang rumahnya berjarak dua blok dari tempat tinggal keluarga Morris. Selama disekap, Diane mendapatkan penyiksaan dan pelecehan secara seksual. Ayahnya, Phillip Morris seorang pengusaha properti, tampak begitu terpukul dengan kejadian yang menimpa putri satu-satunya itu. Beberapa petinggi partai dan pegawai pemerintah menyempatkan hadir pada konferensi pers yang ditayangkan secara langsung oleh beberapa saluran berita.

Polisi bergerak cepat dalam kasus ini, buktinya Diane Morris ditemukan dalam waktu kurang dari sepuluh hari. Semua kemungkinan dilacak oleh mereka. Orang-orang yang terakhir kali terlihat bersama Diane diwawancarai. Tak ada yang terlewatkan. Polisi benar-benar bekerja keras mengungkap kasus penculikan gadis enam belas tahun itu. Meski pada akhirnya kenyataan pahit harus ditelan keluarga Morris, setidaknya mereka sedikit beruntung, bisa memeluk kembali putri mereka. Meski berbagai terapi untuk Diane akan memakan waktu dan biaya yang sangat mahal setelahnya.

Lidia mengecilkan suara televisi yang masih menayangkan wawancara keluarga Morris. Ada gelombang kesedihan menjalari hatinya. Sebenarnya ia turut lega atas ditemukannya gadis yang hilang itu. Ia tahu rasanya mencari dengan putus asa. Ia tak ingin keluarga mana pun di dunia ini merasakan hancur yang sama dengan dirinya. Lidia menyeruput kopi yang mulai mendingin, air matanya luruh. Seluruh pikirannya tertarik pada kejadian tiga tahun yang lalu.

Hari kedua setelah Emely–putri tunggalnya yang belum genap berusia tujuh belas menghilang– sepulang menjadi sukarelawan merawat lansia di panti jompo. Ia kembali ditanya-tanyai oleh pihak kepolisian.

“Apakah putri anda pernah kabur sebelumnya?”

Lyod, sheriff paroh baya itu bertanya tanpa melihat Lidia. Dia asik dengan tuts komputer yang terdapat di atas meja kerjanya.

“Tidak, Emely anak yang baik. Dia pintar, juara kelas, ia selalu mengabarkan padaku ke manapun ia ingin pergi.”

Lidia menjawab dengan terbata-bata. Pandangan matanya menerawang. Hatinya hancur. Ia merasa tak akan bisa melewati tragedi ini sendirian. Ia butuh pelukan dari ayah Emely yang telah lama berpulang.

“Apakah putrimu pernah kedapatan memakai narkoba?” Loyd bertanya lebih lanjut.

Lidia hening sejenak. Ini bukan kali pertama polisi menanyakan ini. Lidia sering membaca berita bahwa kehilangan warga yang berasal dari kulit hitam selalu dikaitkan dengan narkoba, prostitusi dan serangkain kekejian lainnya. Seolah mereka yang hilang hanyalah seonggok sampah masyarakat yang memang harus dimusnahkan dari muka bumi.

“Tidak … putriku bukan gadis seperti itu. Kau tidak mengenalnya, Tuan. Dia mengerti bahwa aku wanita singel dan mati-matian berjuang untuk menghidupinya.”

Lyod menghela napas panjang. Jakunnya terlihat naik turun ketika ia menelan ludah. Sesekali ia memainkan kumisnya yang panjang.

“Begini, Nyonya. Kadang remaja sulit ditebak. Mungkin ada hal-hal yang bersumber darimu yang membuat putrimu memutuskan untuk kabur.” Lyod mencoba meyakinkan Lidia.

“Tapi, seseorang di ujung gang, tempat Emely terakhir kali terlihat mengatakan bahwa ia melihat Emily masuk ke dalam sebuah van dengan kaca gelap, Tuan. Apakah kau tak bisa melacaknya?” suara Lidia meninggi.

“Kami sudah berusaha memeriksa semua kemungkinan, Nyonya. Sampai saat ini belum ada tersangka yang bisa dikaitkan dengan hilangnya putrimu. Asumsiku sementara ini, putrimu kabur dari rumah.”

Hati Lidia hancur. Ia tahu betul, orang-orang seperti dirinya sulit mendapatkan keadilan. Kulit hitam, rambut kribo dan tinggal di apartemen satu kamar yang sedikit kumuh membuat mereka berada satu level di bawah warga kulit putih. Para penegak hukum terlihat enggan menelusuri segala kemungkinan yang membuat penyelidikan hanya jalan di tempat.

Hampir setiap hari Lidia menyempatkan diri ke kantor polisi. Pekerjaannya sebagai pembersih kandang dan kotoran di salah satu salon hewan membuatnya hanya bisa datang pada sore hari. Malamnya ia akan menyusuri gang sempit dan lembap tempat anaknya menghilang.

Ia menyelidiki sendiri, menanyai siapa saja yang bisa ditanyai tentang putrinya. Mencatat semua hal yang orang katakan tentang putrinya sebelum menghilang. Kadang, putus asa menghantui, tapi Lidia tak ingin berhenti sampai di sini. Ia harus tetap berjuang. Wajah Emely yang kesakitan seringkali melintas di matanya. Ujung-ujungnya ia kembali ke kantor polisi dan memohon kepala sheriff untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut.

Pada hari libur, Lidia akan mengunjungi seluruh rumah sakit di dalam kota. Memastikan bahwa tidak ada orang yang tanpa sengaja menemukan jasad Emely. Ia juga memeriksa semua koran lokal, membaca semua berita, tentu saja dengan harapan ada seseorang di luar sana yang menemukan dan merawat putrinya selama ini.

Hari ketujuh, Lidia kembali ke kantor polisi. Kegelisahan semakin menghantuinya. Tubuhnya tampak lebih kurus karena tak ada makanan yang sedap di lidah. Kadang, sebagian dirinya mencoba membenarkan apa yang polisi katakan. Bahwa Emely mungkin sengaja menghilang dari hidupnya. Bisa saja emely jenuh atau memang ia telah bertemu seorang lelaki yang mengajaknya pergi. Bagian dari dirinya yang lain mengatakan bahwa hal itu tidak mungkin terjadi. Ia kenal betul putrinya Emely.

Di sudut ruangan kantor polisi ia menunggu. Memandangi dinding yang dilapisi kertas putih berukuran raksasa. Dinding penuh seluruhnya oleh kertas yang ditempeli foto-foto dan peta, serta beberapa keterangan di bawahnya. Di antara foto itu ada Emily putrinya, dan beberapa foto orang-orang hilang yang masih dalam pencarian.

Lyod melihat Lidia dari balik kaca ruangannya. Pria itu terlihat sedikit bosan, namun ia tetap harus menemui Lidia. Tugas tetaplah tugas dan ia harus menjalaninya dengan baik. Ia meletakkan satu kaleng soda di atas meja di depan Lidia. Memandangi wanita berambut gimbal itu dengan malas.

“Aku datang karena merasa dirugikan atas pernyataan pihak kepolisan tentang putriku, Emely,” Lidia buka suara.

“Tugas kami memberikan informasi kepada khalayak ramai, meyakinkan mereka bahwa kota masih menjadi tempat yang aman.” Lyod mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja.

“Tapi itu tidak benar, Tuan. Putriku diculik. Ia mungkin sangat ketakutan saat ini. Ia butuh pertolongan. Bagaimana bisa anda mengatakan bahwa putriku sengaja melarikan diri sementara anda tidak berjuang untuk menemukannya.”

Lidia terisak, berkali-kali ia menelan ludah. Perasaannya kacau, pemberitaan di televisi membuatnya marah. Beberapa judul berita menghancurkan nama baik putrinya. Mereka berkata bahwa Emily mungkin saja pecandu, bahkan ada yang mengatakan bahwa Emely terikat dengan sindikat prostisusi online. Pemberitaan itu membuat orang-orang yang semula bersimpati menjadi mengejek dan beranggapan bahwa Emely memang pantas menerima ganjaran dari perbuatannya. Berita-berita itu hanya tayang beberapa hari, lalu orang-orang mulai lupa bahwa di sebuah apartemen murahan ada seorang ibu yang berharap putrinya segera ditemukan, meski hanya berupa jenazah.

“Sebaiknya anda pulang. Jika ada perkembangan, pasti akan kami beritahukan atau … jika ada yang ingin kami ketahui, kami akan datangi anda. Ada banyak gadis yang hilang belakangan. Kami sungguh kesulitan.”

Lyod menuntun Lidia menuju pintu keluar. Kantor polisi mulai lengang, sementara di luar sana jalanan basah oleh hujan yang turun sejak siang. Lidia sepenuhnya mengerti, bahwa polisi itu tak akan pernah datang atau memberitahukan perkembangan kasus putrinya. Mereka lebih tertarik menyelesaikan kasus-kasus yang akan menyita perhatian publik.

Sebuah ketukan pintu mencabut ingatan Lidia tentang Emely. Buru-buru ia meletakkan mug kopi yang masih berisi separuh. Ia menyambar cardigan merah bata di atas sofa, kemudian menutupi tubuhnya yang hanya dilapisi dress hitam tanpa lengan berbelahan dada rendah.

Seorang petugas apartemen sewaan tersenyum saat pintu dibuka. Lidia mempersilahkan lelaki itu masuk, tapi ia mendapatkan penolakan halus. Lelaki itu menyerahkan secarik kertas–bukti pembayaran uang sewa– kepada Lidia.

Lidia meletakkan kertas berwarna kuning itu di bawah sebuah kotak yang dibungkus dengan kain satin berwarna hitam. Tangan Lidia mengelus kotak, matanya berkabut. Di dalam sana putrinya kini berada, Emely yang telah berubah wujud menjadi segenggam abu.

Lidia tersenyum getir, meski hidupnya hancur berantakan, setidaknya ia bisa meletakkan putrinya di tempat yang layak. Emely tidak pernah pergi meninggalkannya. Ia juga tidak berhubungan dengan narkoba atau prostitusi. Seseorang telah menyekapnya di ruang bawah tanah sebuah gedung tak terpakai. Melecehkannya berbulan-bulan, sebelum akhirnya mayat Emely dibuang ke tempat sampah di pinggir kota.

Andai saja polisi bekerja lebih keras. Andai saja semua petunjuk mereka rangkai menjadi sebuah fakta. Andai saja Emely bukan putrinya, pasti ia masih hidup sampai saat ini. Lidia menarik napas, menata perasaannya. Sementara televisi masih menyala dengan pemberitaan tentang keluarga Morris yang akhirnya menemukan kembali putri mereka.

End

Cerpen ini adalah pemenang pertama lomba cerpen dengan tema KAUM MARGINAL yang selenggarakan komunitas PENSIL2B tahun 2019 lalu.

Foto diatas adalah foto penulisnya….

Baca juga;

Cerpen: BERINGIN TUA DI SEBERANG JENDELA ( By Mande Hanifah)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *