Cerpen

Cerpen: KEMBALIKAN PUTRIKU, BU BIDAN (by Mande Hanifah)

Seminggu sudah aku memata-matainya di sini. Berada di balik kaca mobil tak jauh dari gerbang sekolahnya. Menatap dia yang datang dan pergi dengan rasa sesal yang tak terbantahkan. Berharap nanti pintu maafnya terbuka lebar-lebar untuk kesalahan fatal yang telah kulakukan.

Ada gemuruh bertalu-talu ketika melihat dia keluar dari gerbang itu. Tas ungu bergambar kuda poni yang sedikit kebesaran ikut berayun seiring langkah kakinya bergerak maju. Kulitnya yang pucat mewarisi hampir seluruh kode genetis dariku. Muka bulat dengan bola mata sedikit menyipit khas anak-anak penyandang sindrom yang sama.

“Dia ini berbeda, down sindrom namanya. Kalau orang-orang bilang, wajah mirip sedunia. Ini bukan penyakit, jadi ibu tak usah khawatir. Anak seperti Alma bisa mandiri layaknya anak normal lain. Bahkan banyak yang berprestasi. Asalkan dia mendapat pengasuhan yang tepat.”

Sampai kini, kalimat dokter anak itu masih berputar-putar di kepalaku. Bagaimana mungkin di usia yang sangat muda aku memiliki anak berkebutuhan khusus seperti Alma. Mengandung dan melahirkannya saja bagiku adalah sebuah kesalahan yang mungkin akan kusesali selamanya.

“Aku tak akan ikut campur mengenai anak ini. Kau urus saja sendiri.”

Lengkap sudah. Alma memang hanya membawa sengsara. Laki-laki yang kuharap akan berbagi beban denganku itu memilih menjauh. Sejuta kata manisnya yang dulu, menguap begitu saja. Sungguh tidak punya tanggung jawab sebagai seorang ayah. Ah, andai saja aku bisa membacanya sejak semula. Bukan malah kabur dan menikah diam-diam dengannya hanya karena tak mendapat restu orang tua.

Alma masih berdiri di depan gerbang ketika suara klakson mengacaukan kelabat demi kelabat bayangan masa lalu di benakku. Seorang wanita yang hampir tua mendekatinya dengan payung di tangan. Alma mencium tangannya dengan takzim. Wanita itu mengecup pipinya, mereka lalu berjalan beriringan di bawah rintik hujan yang mulai mereda.

***Mande Hanifah***

Aku mengetuk pintu dengan perlahan. Otakku sibuk membujuk jantung yang sedari tadi berdegup kencang. Aku sepenuhnya khawatir akan reaksi mereka setelah ini. Akan tetapi, rencana telah tersusun matang dan aku berpantang surut ke belakang. Alma harus tahu bahwa wanita yang selama ini dipanggilnya mama bukanlah ibunya.

Aku, akulah wanita yang mengandung dan melahirkannya dengan susah payah. Meski akhirnya meninggalkan dia di rumah ini. Bagiku itu adil untuknya, jika dulu dia tetap bersamaku mungkin akan lain cerita. Dia bisa saja tak tumbuh sehat seperti saat ini. Meski kini nasib baik berada di pihakku, keraguan masih kerap melanda jika Mas Wen tahu aku mempunyai anak lain sebelum menikah dengannya. Dan, anak itu tidak normal seperti anak-anak kami. Biarlah, apa pun keputusan lelaki itu setelah ini, tak ada pilihan lain, selain menerima.

“Kurasa, kita pernah bertemu sebelumnya. Tapi di mana, ya?” Bidan Nila bertanya setelah basa-basi tak penting di antara kami sebelumnya.

“Iya, semoga Bu Bidan masih ingat. Bu Bidan yang menolong saya ketika melahirkan Alma.”

Wajah Bidan Nila tampak tegang setelah jawaban kulontarkan. Barangkali ia tak pernah menyangka bahwa aku akan kembali. Tentu saja ia sangat terkejut bagaimana mungkin aku berani datang setelah kejadian beberapa tahun yang lalu itu. Atau mungkin juga tak pernah terpikir olehnya aku yang dulu melarat kini menjelma bak sosialita.

“Alma? A ….”

“Iya, Alma, bayi istimewa yang kuberikan pada Bu Bidan sembilan tahun yang lalu, aku berniat mengambilnya kembali,” jawabku enteng.

Bidan Nila menutup mulutnya dengan telapak tangan. Kulihat dadanya naik turun menahan sesak. Tentu saja ia kaget dengan kedatanganku yang tiba-tiba.

Aku meletakkan amplop coklat berisi lima puluh juta di atas meja. Lima belas juta di antaranya adalah nominal yang sama dengan yang Bidan Nila berikan waktu itu. Sementara sisanya kuanggap sebagai konpensasi atas jasanya merawat Alma selama ini. Setidaknya, karenaku ia merasakan bagaimana menjadi seorang ibu, untuk menemani hari-harinya setelah ditinggal suami akibat dari kegagalannya menghadirkan seorang bayi dalam rumah tangga mereka.

“Bawa saja uangmu kembali!” Bidan Nila menyalak garang setelah kujelaskan nominal yang terdapat di dalam amplop.

“Maaf jika membuatmu tersinggung, Bu Bidan. Aku benar-benar tak bisa memaafkan diriku karena telah meninggalkan Alma denganmu. Kali ini aku tak akan menyia-nyiakan dia lagi. Aku siap merawatnya.”

“Alma adalah putri saya. Kau tak berhak mengambilnya kembali. Maaf saya masih banyak urusan. Tolong pergi dari rumah saya, Betti.”

“Bu Bidan … tolong. Kembalikan putriku. Aku tidak akan bisa melanjutkan hidup tanpa dia. Tolong beri kesempatan agar aku bisa menebus semuanya pada, Alma.”

Aku meraih tangan Bidan Nila dengan jemari yang bergetar hebat. Berharap wanita itu memahami perasaanku sebagai ibu yang melahirkan Alma. Dia pasti lebih mengerti bahwa butuh perjuangan agar Alma bisa hadir di dunia. Meski akhirnya bayi itu kusingkirkan. Bukan, bukan karena aku tak mencintai Alma, namun semua demi masa depannya. Bersamaku dia hanya akan menderita.

Bidan Nila berusaha melepaskan cengkraman tanganku. Aku memperkuat genggaman pada pergelangan tangannya, hingga ia kewalahan.

“Jangan begini, Bu Bidan. Pahamilah aku sebagai seorang ibu. Tolong berikan saja Alma.”

“Memberikan Alma katamu? Semudah itukah kau membalik keadaan setelah dia kau campakkan?”

“Apapun itu, tak ada yang bisa menyangkal bahwa Alma darah dagingku. Aku yang mengandungnya dalam kepayahan. Aku yang menanggung derita melahirkan.”

“Kau tak pantas disebut sebagai seorang ibu, Betti.”

Kemarahan sedang menjalar dalam kepalaku ketika rambut Bidan Nila kutarik paksa. Wanita yang membesarkan Alma itu berteriak kesakitan. Aku merasakan sebuah pukulan keras mendarat di kepala lalu turun ke bahu.

Alma. Dia berdiri di sampingku sambil mengayunkan sapu. Beberapa detik setelahnya aku didorong dengan kekuatan yang tak terprediksi sebelumnya. Aku tersungkur pada kaki sebuah meja yang berisikan figura serta beragam sertifikat. Juga plakat. Semua piagam-piagam itu bertuliskan nama Alma atas prestasi yang diraihnya. Almaku, dia bukan hanya berbeda, ternyata dia sangat istimewa.

Seketika rasa sesal kembali menabuh genderang dalam rongga dadaku. Bagaimana mungkin aku memberikannya pada orang lain jika dia sehebat ini? Apa yang telah kulakukan? Untuk kesejuta kalinya kukutuki diri.

Aku bergetar ketika pandangan kualihkan pada Bidan Nila. Alma memeluknya penuh kasih dengan berurai air mata. Ada cinta yang mengalir deras di antara mereka. Tatapan itu, bahkan aku belum pernah menemukannya pada anak-anakku yang lain. Anak istimewa memiliki kasih yang lebih, ternyata benar adanya.

“Tante, siapa? Jangan sakiti mama Alma.”

Suara Alma bergetar ditingkahi isak pelan. Betapa saat ini ingin kukatakan bahwa aku ibunya. Ibu yang tega memberikannya kepada orang lain. Ibu yang tak menaruh harapan apa-apa padanya. Juga ibu yang menganggapnya hanya membebani saja. Akan tetapi, kalimat demi kalimat yang telah kusiapkan seolah menolak untuk dilontarkan tatkala kulihat binar cinta di mata Alma untuk Bidan Nila.

“Tante siapa?” Lagi, Alma mengulangi pertanyaannya.

“Tante, bukan siapa-siapa. Hanya teman lama mamamu. Maaf ya Tante sedikit membuat kacau.”

Kusentuh rambut Alma pelan. Ingin kubawa dia kepelukan, lalu tenggelam dalam maafnya. Sampai tiga menit berlalu, aku hanya terpaku tak bergerak. Rasanya … aku tak pantas merenggut kebahagiaan Alma untuk kedua kalinya

End.

Catatan: foto ilustrasi diambil dari IG Diariogege tidak ada kaitannya dengan isi cerpen ini..

Baca juga;

Cerpen: BERINGIN TUA DI SEBERANG JENDELA ( By Mande Hanifah)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *