.Cerpen

Cerpen; PENANTIAN ( By Friya Anshari)

PILARBANGSANEWS. COM

Sudah dua hari penghuni baru rumah sebelah itu mengeluh karena bau. Aku bisa mendengar dengan jelas saat mereka ke sana-sini meracau tentang aroma tak sedap yang mengganggu indra penciuman mereka.

Rumah kami memang hanya berbatas dinding kayu seperti layaknya rumah petak lain, membuat suara atau bau apa pun akan cepat sampai ke sebelah. Untung saja rumahku berada paling ujung, jika tidak tentu akan bertambah lagi tetangga yang mengoceh.

“Bau gas, Pa,” ucap sang istri. Aku baru dua kali bertemu dengannya. Perempuan muda yang kutaksir berusia tak lebih dari tiga puluhan. Perawakannya kecil mungil, dengan kulit yang terang. Ia berbicara dengan suara yang agak lemah.

“Bau durian busuk, Ma.” Suara seorang anak kecil. Dasar bocah! Mana mungkin bau durian sepahit ini.

Kurasa itu adalah suara putra mereka yang tempo hari menendang bola ke jendela rumahku. Perawakannya seperti sang ibu, kecil mungil, tetapi dengan kulit yang sedikit gelap. Terakhir kulihat ia mengenakan seragam merah putih yang tampaknya masih baru.

“Apa tetangga sebelah lupa matikan kompor, ya, Pa?” Suara perempuan itu lagi. Namun, tak kudengar jawaban apa-apa dari sang suami. Hanya langkah-langkah mereka yang terdengar semakin berisik.

Aku tak lagi peduli, pun jika mereka terus mengeluh. Aku akan tetap di sini hingga anak-anakku kembali. Mereka sudah berjanji akan datang lebaran ini. Aku pun telah berjanji akan menunggu mereka.

***

“Pokoknya Ayah tenang aja. Rizal pasti pulang lebaran nanti. Sekarang Ayah berobat dulu, ya. Minta tolong Bang Azman nganterin ke rumah sakit! Bilang nanti uangnya Rizal transfer!” ucap anak sulungku itu ketika kuhubungi ia minggu lalu.

Ia bekerja di perusahaan yang cukup besar di Jakarta. Sayang aku tak bisa mengingat namanya. Menggunakan kata-kata asing yang jangankan untuk menyebutnya, artinya pun aku tak tahu.

Rizal sangat sibuk menjelang lebaran ini. Harus mengurus tunjangan hari raya untuk semua karyawan katanya. Hingga ia tak bisa pulang saat kuberitahukan bahwa kesehatanku memburuk minggu ini. Lagi-lagi ia menyuruh untuk meminta Azman mengantarkanku.

Ketika asmaku kambuh tempo hari, Azman jugalah yang telah membawaku ke rumah sakit. Tak mungkin kali ini meminta anak kakakku itu untuk mengantarkan lagi. Sungkan jika harus terus-menerus mengganggunya. Ia juga pasti punya banyak hal untuk dikerjakan.

Kututup sambungan telpon. Menimbang-nimbang untuk menelpon anak keduaku, Raisa. Putri cantik yang tahun lalu dipinang oleh anak dari pengusaha meubel di kota sebelah. Menurut cerita yang kudengar, mereka adalah teman saat kuliah.

Putri cantikku belum lagi pulang sejak ia dibawa oleh suaminya. Kurasa tak ada salahnya menghubunginya. Sekalian agar ia bisa liburan di kampung.

“Ayah salah makan, ya?” tanya Raisa setelah mendengarkan beritaku.

Mencoba mengingat-ingat kembali apa saja yang kusantap beberapa hari terakhir ini. Rasanya aku tidak memakan apa pun yang dipantangkan Dokter.

“Aku belum bisa pulang, Yah. Bang Irfan lagi keluar kota untuk urusan bisnis. Aku nggak mungkin pergi-pergi sendirian. Ayah sudah coba telpon Bang Rizal?”

Jawaban yang tadinya kutakutkan akhirnya kudengarkan juga. Kedua buah hatiku itu tak bisa pulang. Ah … harusnya aku tak terlalu berharap.

Sejak meninggalnya sang ibu beberapa tahun yang lalu, hubunganku dengan mereka berdua memang tak begitu dekat. Agaknya mereka menyalahkanku atas kematian ibu mereka.

Seandainya malam itu aku tak membawa gadis itu-yang perutnya mulai membuncit-pulang, membuat istriku meraung seperti hilang akal. Hingga akhirnya ia memilih memasrahkan hidupnya pada seutas tali di langit-langit kamar.

Raisa begitu histeris saat memeluk tubuh kaku ibunya, sedangkan Rizal terduduk di depan pintu kamar.

Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi. Nasi sudah menjadi bubur. Mungkin inilah takdir hidup yang harus kuterima kini. Menjalani hari-hariku seorang diri.

***

Kurebahkan tubuh di ranjang kecil itu. Aroma apek meruak menusuk indra penciuman. Kamar ini memang jarang sekali kubuka. Beberapa poster penyanyi luar negeri mulai menguning di dinding. Semua penyanyi kesukaan Rizal.

Ting!

Sebuah pesan masuk di gawaiku. Rizal menepati kata-katanya siang tadi akan mengirimkan uang untuk ke rumah sakit. Namun, aku betul-betul sungkan untuk meminta bantuan Azman.

Kupandangi foto di atas meja kecil di samping ranjang itu. Di dalam figura yang terbagi dalam tiga bagian. Di satu bagian terlihat Rizal kecil yang berdiri sembari menggenggam tangan ibunya. Di bagian tengah ia bergandengan dengan Raisa, sedang di bagian lainnya ia berdiri dengan seorang gadis yang tak kukenal. Tak ada fotoku di kamar ini!

Kuhela napas panjang. Keheningan ini terus membawa pikiranku berkelana.

“Teman Rizal udah janji mau bantuin nyariin lowongan di perusahaan tempat dia kerja kok, Yah. Rizal janji akan rajin kirimin Ayah uang nantinya,” ucapnya saat itu, di hari terakhir ia berada di rumah ini.

Begitu bersemangat ia mengisikan baju ke dalam tas punggung berukuran cukup besar. Sementara di hatiku seperti ada sesuatu yang menghimpit. Selama ini saja tinggal seatap kami jarang berbincang, apalagi jika nanti ia pergi.

Namun, tekadnya yang sudah demikian bulat membuatku hanya bisa mengizinkan. Dadaku terasa sakit mengingat kembali ketika mobil yang akan mengantarkannya mulai menghilang di ujung jalan. Lebaran yang lalu ia tak bisa pulang, sementara rinduku begitu membuncah. Lebaran tahun ini ia berjanji akan pulang. Aku hanya berharap bisa melihatnya lagi sebelum mata ini terpejam selamanya.

***

Kokok ayam membangunkanku. Sudah pagi. Rupanya aku tertidur di kamar Rizal. Aku hendak berdiri ketika merasakan sakit yang teramat sangat di dada sebelah kiri. Kuremas bagian yang terasa sakit, sebelum akhirnya terjatuh ke lantai yang dingin.

***

Tetangga baru itu semakin berisik pagi ini.

“Coba Papa lihat aja ke sebelah, Pa!” Terdengar olehku suara sang istri yang memang paling mendominasi sejak semalam.

Bisa kudengar juga derap langkah mereka yang mulai mendekat

“Pak Hasyim!!” Terdengar seseorang memanggil namaku sembari mengetuk pintu.

Beberapa panggilan dan ketukan lagi hingga akhirnya mereka pergi. Namun, tak lama kembali lagi. Dari riuhnya suara di luar, kurasa sekarang warga lainnya mulai ikut berdatangan.

“Dari kemaren itu bau gas pekat sekali, Pak. Tetapi pagi ini bau dari sebelah sudah betul-betul membuat perut teraduk-aduk.” Suara lelaki yang tadi memanggilku.

“Pak Hasyim!!” Suara lainnya memanggil dan menggedor pintu.

“Dobrak aja, Pak!”

“Siapa yang bisa dobrak?”

“Hitungan ketiga, ya. Satu … dua … tiga ….”

Suara pintu terbanting membentur dinding. Beberapa orang mulai melangkah masuk, dan semakin mendekat ke kamar Rizal.

Pintu terkuak, beberapa orang memekik sembari menutup hidung.

“Astaghfirullah ….”

“Innalillahi ….”

“Hubungi polisi! Telpon anaknya!”

Kebahagiaanku seketika membuncah mendengar mereka hendak menelpon anak-anakku. Barangkali saja jika mereka yang meminta, Rizal dan Raisa akan segera pulang. Syukurlah.

Satu per satu mereka kembali ke luar, dan menutup pintu. Mungkin ngeri, atau juga jijik.

Kutatap tubuhku yang mulai membengkak, dan pecah di beberapa bagian. Belatung-belatung kecil berpesta di bagian-bagian yang membusuk.

Hah … sebentar lagi anak-anakku pulang. Rindu ini akan terbayarkan.

End.

Foto ilustrasi diatas adalah foto penulisnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *