.Cerpen

Cerpen; BESOK ( By Friya Anshari )

Sisa makanan memenuhi meja. Piring-piring kotor yang sudah menguarkan bau tidak sedap teronggok tak beraturan. Semut-semut hitam berbaris mengantri untuk menikmati hidangan berbulu. Kupandangi meja itu sembari mendengar omelan ibu yang tak hendak berhenti.

“Ya Allah … nyerah … nyerah. Susahnya mendidik anak satu ini!” Sebelah tangan ibu menyentuh pelipis kirinya. “Seharian ibu bekerja, nyari uang buat sekolah kamu, buat makan, buat memenuhi kebutuhan kita, pulang-pulang rumah berantakan. Kamu itu sudah tiga belas tahun, Na. Mestinya kamu sudah bisa menolong pekerjaan rumah!”

Marah … ibu benar-benar marah. Aku tahu itu. Tatapannya membuatku merasa menjadi sekecil tungau.

Berdiri dengan dua tangan menyentuh ujung baju, aku menunduk sedalam-dalamnya, tak berani membalas tatap ibu. Beberapa kali mataku mengerjap, menggigit bibir agar tak menangis. Ibu tidak akan memaafkan hanya karena aku menangis.

Salahku juga, seharian ini terlalu asyik bermain hp hingga lupa waktu. Tak satupun pekerjaan rumah yang kubantu. Piring-piring kotor masih teronggok di meja makan. Rumah belum kusapu, halaman pun masih dipenuhi daun-daun kering yang gugur dari pohon manga di pekarangan. Bahkan kamar pun belum kusentuh.

“Kapan kamu bakal dewasa, Na?” tanya ibu sembari duduk di kursi. Sebelah tangannya menyentuh dada.

‘Besok … mulai besok aku akan berubah. Tak akan membuat Ibu marah lagi, tak akan mengabaikan tugasku lagi. Sabarlah, Bu. Besok aku pasti berubah.’

Kutanamkan tekad di dalam hati. Ini kali terakhir aku membuat ibu marah. Janji.

****

‘Besok’ adalah hari yang penting bagiku. Semua pekerjaan yang baik selalu kumulai besok. Seperti hari itu, ketika ayah berdiri dengan penggaris di tangannya. Usiaku sebelas tahun saat itu. Satu tahun sebelum kepergian ayah.

Kedua telapak tanganku memerah, bekas pukulan penggaris ayah.

“Kamu itu sudah aqil baligh, masih suka meninggalkan shalat. Ndak takut dosa?” tanya ayah setengah berteriak.

Tubuhku gemetar ketakutan. Air mata meleleh bersama tetesan keringat. Rasa sakit di telapak tanganku mulai menggigit.

“Apa yang harus ayah jawab nanti kalau di akhirat malaikat bertanya tentang anak gadis ayah yang sering meninggalkan shalat? Kamu ndak sayang sama ayahmu?”

Berkali-kali pertanyaan itu diulang. Namun, aku terlalu takut untuk menjawab.

‘Besok, Yah. Mulai besok aku akan berubah. Aku ndak akan meninggalkan shalat lagi. Ini terakhir. Janji.’

Tekadku bulat saat itu. Besok. Ya … mulai besok. Aku janji.

Namun, ketika besok yang kujanjikan belum lagi terpenuhi, ayah telah pergi.

~~||~~

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *