Hukum

Refly Harun; Dakwaan Terhadap Anton Permana Sudah Tidak Relevan dan Seharusnya Bebas Demi Hukum

Jakarta, PilarbangsaNews

Sidang terdakwa petinggi KAMI Dr Anton Permana kembali berlanjut di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (3/1/2022). Sidang yang ke-50 ini tim penasihat hukum dan terdakwa tak tanggung-tanggung menghadirkan begawan hukum tata negara kondang Dr Refly Harun.

Sidang di mulai agak molor pukul 11.00 WIB dikarenakan ada pengucapan pakta integritas di ruang utama Pengadilan.

Seperti biasa sidang dimulai dengan pertanyaan dari tim penasihat hukum Drs. Muhammad Alkatiri, SH., MBA. yang menanyakan basic pendidikan dan sedikit kiprah ahli Refly Harun dalam dunia hukum tata negara.

Bahwasanya Refly Harun menamatkan S1 hukumnya di UGM Yogjakarta, S2 nya di UI dan juga di Australia, terakhir S3 nya di Universitas Andalas Padang. Sederet karya buku, journal, artikel Refly Harun di bacakan Alkatiri, termasuk juga riwayat pekerjaan Refly Harun baik di mulai dari jadi Jurnalis, asisten pribadi pengacara kondang Adnan Buyung Nasution, staf ahli di Mahkamah Konstitusi, tim pakar Kementrian Pertahanan, staf ahli ketua DPR RI era Marzuki Ali, Tim Pansel Hakim Mahkamah Konstitusi, hingga kiprah beliau di dunia akademisi sebagai dosen tetap di Universitas Tarumanegara, dosen tidak tetap di UGM Yogjakarta dan sebagai konsultan hukum di Refly Harun Lawyer and Patner.

Artinya, secara kapasitas dan kompetensi, sudah tidak di ragukan lagi tentang kepakaran RH (panggilan populis Refly Harun) dalam dunia hukum tata negara.

Refly Harun, Anton Permana dan Tim Penasehat Hukum

Selanjutnya, Alkatiri menanyakan maksud dari antar golongan dalam pengerian SARA dalam hukum tata negara, sejarah dan posisi Peraturan Pidana nomor 1 Tahun 1946, dan ujaran kebencian UU ITE yang di dakwakan terhadap Anton Permana.

Secara rinci RH menjelaskan bahwa dalam azas hukum ada namanya memory vanlesvantung atau asbabul nuzul kenapa lahirnya sebuah produk hukum, khusus peraturan pidana nomor 1 tahun 1946.

Bahwa peraturan tersebut di buat oleh BP KNIP (Badan Pelaksana Komite Nasional Indonesia Pusat) sebuah lembaga indenpenden yang berkerja membantu kerja Presiden Soekarno-Hatta di awal kemerdekaan. Dan ketika itu belum ada DPR RI seperti sekarang.

RH lalu menjelasan bahwa peraturan tersebut di buat sebagai dasar hukum (undang-undang darurat. Red) untuk tindakan kepada suatu kelompok yang tidak pro terhadap kemerdekaan serta yang pro pada Belanda dimana mereka sengaja membuat kegaduhan, keonaran, secara sengaja. Dengan menyebarkan berita-berita bohong untuk merongrong kemerdekaan RI yang masih bayi.

Artinya, sungguh sangat tidak relevan kalau peraturan tersebut masih di gunakan dalam kondisi alam demokrasi saat ini. Dimana UUD 1945 sebagai konstitusi yang menjadi sandaran utama juga sudah mengalami amandemen. Dengan tegas RH mengatakan, “Menurut pendapat saya peraturan pidana nomor 1 tahun 1946 ini sungguh sangat tidak relevan kalau di gunakan dalam alam demokrasi saat ini. Meskipun secara teori ada dua faktor yang menyebabkan sebuah aturan hukum positif itu di gunakan. Pertama, karena belum di cabut (de jure), kedua karena faktor sosiologis”.

Begitu juga dalam hal memahami antar golongan dalam ujaran kebencian dalam SARA. RH juga mengatakan, “Sependek pengetahuan saya kata golongan itu hanya ada pada saat hukum kolonial azas concordasi yang membagi tiga golongan manusia seperti timur asing, timur jauh dan pribumi. Serta istilah utusan golongan di zaman orde baru untuk posisi anggota MPR RI. Dengan tegas saya jelaskan bahwa TNI dan Polri itu adalah alat negara yang bekerja untuk negara dan seluruh rakyat Indonesia. Bukan termasuk antar golongan seperti yang di dakwakan kepada Anton Permana dalam video “TNI KU SAYANG, TNI KU MALANG”.

Selanjutnya RH juga menjelaskan dengan lugas tentang, prindip dasar negara demokrasi dalam hal kebebasan berpendapat, menyampaikan pikiran dan opini.

“Menyampaikan pikiran, pendapat, dan opini di jamin oleh konstitusi kita sesuai UUD 1945 pasal 28. Artinya, tidak ada dimanapun negara demokrasi di dunia ini yang opini dan pendapat di pidanakan. Kalau ada opini dan pendapat yang tidak sesuai, di dalam mekanisme demokrasi ada salurannya yaitu melalui kontra pendapat atau kontra opini baik lisan maupun tulisan,” jelas Refly Harun.

“Menurut pendapat saya, atas nama opini dari siapapun itu tidak bisa di pidanakan. Karena itu di lindungi dan di jamin UUD 1945. Jangan kan opini atau pendapat dari seorang ahli dan akademisi. Pendapat dan opini dari masyarakat biasapun di jamin konstitusi. Karena di situlah perbedaan kehidupan di negara demokrasi dan otoriter. Dan Indonesia menyatakan dirinya sebagai negara demokrasi. Jadi seharusnya tidak ada kejadian orang memberikan opini, pendapat, apalagi kajian akademis lalu hanya karena like and dislike, bikin telinga merah penguasa lalu di pidanakan,” kata Refly Harun.

Terakhir Refly Harun juga menjelaskan tentang bagaimana seandainya dalam hukum tata negara ketika sebuah objek hukum di nyatakan inskonstitusional oleh putusan Mahkamah Konstitusi.

RH menjelaskan, “Seharusnya menurut pendapat saya, sidang hari ini sudah di tiadakan atau minimal terdakwa mendapatkan abolisi dari pemerintah. Karena, objek hukum yang di perjuangkan oleh terdakwa ternyata benar adanya. Yaitu cacat formil, cacat prosesur dimana UU Ciptaker di nyatakan inskonstitusional. Meskipun ada embel-embel bersyarat bisa di perbaiki dalam dua tahun kedepan”.

Setelah pertanyaan dari tim penasihat hukum bertanya, selanjut kesempatan yang sama juga di berikan kepada tim JPU (Jaksa Penuntut Umum) memberikan pertanyaan kepada ahli.

Tim dari JPU yang di wakili Lusyana menanyakan kedudukan atau posisi Refly Harun dalam organisasi KAMI. Dan Refly Harun menjawab bahwasanya beliau adalah salah satu deklarator dari KAMI. Namun, terkait aktifitas dan posisi lainnya Refly Harun menjawab tidak tahu karena beliau tidak aktif dan menyatakan KAMI adalah sebuah organisasi gerakan moral tanpa AD/ART apalagi akta hukum.

Tim JPU selanjutnya bertanya kepada Refly Harun apakah membaca atau melihat dua postingan video terdakwa. Refly Harun me jawab tidak pernah melihat dan mendengar.

Jawaban RH ini langsung di kejar tim JPU terkait, lalu kenapa Refly Harun seakan tahu dan menjustifikasi bahwa video atau tulisan terdakwa Anton Permana tidak bisa di pidanakan sedangkan RH sendiri tidak pernah membacanya?

Sontak pertanyaan ini mendapat keberatan dari tim PH Alkatiri karena di anggap JPU masuk kedalam substansi sedangkan ahli tidak bisa menjawab subtansi di luar keilmuannya. Sampai hakim menegur dua belah pihak agar saling tertib dan memahami konteks substansi persidangan.

Refly Harun yang di kejar JPU dengan santai menjawab, ”Bahwa yang di maksudkan opini atau pendapat yang tidak bisa di pidanakan yang saya maksud di keterangan awal adalah berlaku untuk semua pihak. Siapapun dia walaupun masyarakat biasa. Jadi menurut pendapat saya, selagi yang di sampaikan itu adalah opini dan pendapat tidak bisa di pidanakan. Kecuali kalau itu fakta, ya silahkan cari dan buktikan dengan fakta pembanding dan itu bukan ranah saya,” tegas Refly Harun.

Akhirnya sidang pun selesai tepat pukul 13.30 WIB. Dimana sidang selanjutnya akan menghadirkan masih ahli dari pihak terdakwa untuk melakukan pembelaan senin minggu depan. Di tempat dan waktu yang sama. (Rel)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *