Artikel

Buya Ikut Ritual

Oleh: Irwandi *)

Semenjak Buya pergi mengantar sebongkah tanah dan dua liter air keperkemahan itu bertambah terkilan-kilan rasanya di dalam dada. Baru belum lama ini Buya juga diam tanpa rona saat niniak mamak heboh memprotes orang yang mengatakan suara azan menganalogikan dengan gonggongan. Kalau dilihat-lihat jenggot Buya masih serupa dulu, pecinya juga. Tapi kenapa? Entahlah.

Mungkin karena Buya orang cerdas lagi bijaksana, juga punya dalih sebagai penangkisnya. Untuk menghormati dan bukan melunturkan karomah jenggot kebuyaannya. Ya, bisa diterima, bukankah niat hanya sipemilik dan pencipta hati yang tahu. Iya juga, konon kabarya dulu buya pernah berjanji tidak akan meninggalkan kota dan akan menyelesaikan pekerjaannya, tapi nyata Buya bakisa tagak. Masih ada dalilnya, Buya memang masih dalam kota, cuma ditempat yang berbeda. Itulah orang kalau hebat, tak hati-hati batang lurus bisa dililitnya.

Baca Juga:

Minyak Goreng “Samaha Tubo” (oleh: Irwandi)

Buya yang dibesarkan dalam keluarga yang erat dengan nuansa kebuyaannya terasa berbeda saat mendapatkan tahta. Kadang antahlah tapi ba a lah. Seandainya diripun di posisi Buya entah juga sama. Namun setidaknya tindak tanduk yang ini bisa memberi stempel legal pada kabar angin bahwa ulama memang dilarang berpolitik. Sebenarnya itu ucapan pemecah belah pada zaman saisuak, untuk membuat ulama lemah peranannya dalam bersuara. Tapi kadang ada benar juga.

Dikata-kata bijak orang tua Minang disebutkan
Alun takilek lah takalam
Bulan disangko tigo puluah
Alun diliek lah dimakan
Raso lah dalam batang tubuah.

Mungkin orang pintar yang tidak suka akan menyangkal, sok tahu. Itu tanggapannya, silahkan, bukankah setiap orang punya hak untuk beragumen. Yang dilarang itu usah babana ka pangka langan jan baiyo ka ampu kaki, saat argumen buntu datang sentimen membantu. Patah lidah baujuang kalah patah karih baujuang mati. Masyarakat minang adalah orang-orang yang suka berdialektika, sama dengan Buya belajar ilmu mantiq, basilek lidah. Bisa digunakan untuk lurus dan bisa digunakan untuk membengkokan, namun hakikatnya ilmu untuk kebaikan.

Jika memang membawa tanah dan sampel air merupakan sebatas etika ke guru tuo adakah terniat di hati Buya untuk berdebat di perkemahan itu. Sebab melawan mamak dengan kebenaran melawan guru dengan kitabnya. Kira-kira apa kitab rujukan guru tuo Buya tersebut dalam melakukan ritual tersebut. Malahan yang terdengar kabarnya buya mendebat dengan berargumen bahwa tujuan ketempat tersebut merupakan simbol penyatuan tanah dan air di Indonesia. Sejak kapan tanah di Indonesia ini terpisah pisah, sajak kapan air di negeri Ibu pertiwi ini bercerai berai.

Ini kalau memang buya mengatakan simbol, peranan makrifat dan hakikat sangat kental. Jangan harap mata bisa melihat putik di dalam bunga kalau tidak memandang dengan mata batin. “Bukankah kita makan dan minum dari air yang sama” kata-kata puitis dan menyatukan dari Anis Matta tersebut kiranya bisa saya pinjam.

Gelar buya adalah gelar pemberian dari masyarakat, sebab orang-orang memandang sosok buya bisa dijadikan kapayi tampek batanyo kapulang tampek babarito. Buya juga merupakan sosok yang kapayi mau bertanya kapulang mau memberi berita. Adakah Buya bertanya atau minta wejangan pendapat ke pihak ninik mamak sebelum membawa sebongkah tanah dan air menyeberang lautan. Atau kesesama buya sebelum kaki terlangkahkan, sebab pangana indak sakali tibo bajalan indak sakali sampai.

Semua telah berlalu, semua ada landasannya. Setidaknya masyarakat tahu ma nan atah ma nan bareh, jika mau untuk berobah atah pun bisa jadi beras. Wallahu a’lam bishawab.

*) Isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *