Tren Nikah Muda di Indonesia
Oleh Rayhan H., Mahasiswa Program Studi Hukum Tata Negara Fakultas Syari’ah UIN Imam Bonjol
Pernikahan atau perkawinan merupakan sunnatullah dan berlaku untuk seluruh makhluk, baik terhadap manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Perkawinan atau pernikahan merupakan jalan yang dipilih oleh ALLAH SWT sebagai jalan untuk makhluk dalam berkembang biak dan melestarikan keturunan.
Seluruh proses pra-nikah di dalam Islam itu semua diatur, mulai dari niat menikah, khitbah, perwalian, saksi, akad nikah dan walimah. Hal itu dimaksudkan agar pernikahan yag terjadi kelak benar-benar menjadi suatu pernikahan yang kokoh dan bermuara kepada keluarga yang Sakinah mawaddah warahmah.
Sebagai negara hukum, Indonesia memiliki berbagai macam model peraturan yang digunakan untuk mengatur kehidupan masyarakatnya. Undang-Undang merupakan salah satu model dari peraturan tersebut. Di dalam hierarkinya Undang-Undang merupakan tingkatan ketiga setelah UUD Negara Republik Indonesia 1945 dan TAP MPR. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menjadi titik awal dari adanya hukum positif yang mengatur tentang Perkawinan di Indonesia.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menganut prinsip calon suami dan isteri harus telah menyatu jiwa dan raganya untuk dapat melangsungkan pernikahan, supaya dapat merealisasikan tujuan pernikahan secara baik tanpa harus berakhir dengan perceraian dan menciptakan keturunan yang sholeh dan sholihah, untuk itu harus dicegah adanya perkawinan dibawah umur.
Di dalam Islam tidak terdapat kaidah-kaidah yang secara khusus mengatur batas usia perkawinan, berdasarkan hukum Islam pada dasarnya seluruh tingkatan usia dapat melangsungkan pernikahan. Dalam Islam sendiri syarat utama pernikahan adalah baligh dan aqil atau telah mampu membedakan antara haq dan bathil.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) ketentuan batas usia dalam perkawinan terdapat di dalam pasal 15 ayat (1) yang berbunyi “untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan ketika calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam pasal 7 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun”.
Batas usia perkawinan diatur didalam Pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan bahwa batas usia calon mempelai laki-laki 19 Tahun, sedangkan calon mempelai Perempuan 16 Tahun. Kemudian pasal ini diperbaharui dengan Pasal 7 ayat 1 UU No. 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, disebutkan bahwa batas usia perkawinan antara laki-laki dan perempuan adalah 19 tahun.
Kenapa harus 19? Hal itu dikarenakan pada usia 19 Tahun manusia telah dianggap matang secara jasmani (fisik), matang secara rohani atau kejiwaan (psikis). Sehingga di harapkan calon mempelai pria dan wanita pada batas usia tersebut telah mampu memahami konsekuensi di langsungkannya perkawinan dan mempunyai tanggung jawab untuk dapat membina keluarga yang bahagia, sesuai dengan tujuan yang di harapkan oleh undang-undang perkawinan.
Diskursus mengenai pernikahan di bawah umur masih belum menemukan titik penyelesaian, faktor utama yang membuat permasalahan itu berlarut larut adalah tidak adanya kesepakatan pemahaman antara dua kubu yang saling mempunyai pandangan berbeda. Satu sisi kelompok yang menyatakan setuju berambisi mempertahankan haknya untuk menikahkan anak di bawah umur dengan alasan beribadah dan mendapat persetujuan orang tua dari anak yang hendak dinikahi serta beberapa paradigma lain yang digunakan sebagai pendukung tanpa memperhatikan kepentingan atau hak asasi utama si anak.
Adapun kelompok yang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pernikahan anak di bawah umur, berusaha mengupayakan hak-hak yang seharusnya didapat oleh si anak. Jika dilihat dari aspek sosial ekonomi, pernikahan di bawah umur dicap seringkali menimbulkan masalah dalam hal perlindungan anak, sebab dalam fakta yang sebenarnya terjadi di masyarakat, pernikahan ini acapkali dijadikan dalih para orang tua untuk mengeksploitasi atau mengorbankan anak mereka demi terpenuhinya kebutuhan keluarga.
Pertanyaannya apakah negara masih membuka peluang untuk melangsungkan pernikahan dibawah umur ini? Jawabannya dapat dijumpai didalam Pasal 7 angka (2) UU No. 1 Tahun 1974 yang kemudian dilakukan perubahan dengan Pasal 7 angka (2) UU No. 16 Tahun 2019 yang secara eksplisit menyatakan bahwa negara membuka peluang pernikahan dini dengan adanya Dispensasi kawin.
Tak hanya itu, Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin, menjadi peraturan yang mengikat terhadap terbukanya peluang pernikahan dini di Indonesia. Ini dijadikan senjata bagi kelompok yang pro atau setuju dengan pernikahan tersebut. Didalam PERMA ini negara membuka peluang untuk melangsungkan pernikahan dini dengan syarat dispensasi kawin diajukan oleh orang tua atau wali dari si anak, sebagaimana Pasal 6 PERMA tersebut.
Jika ditilik dari Pasal 1 angka (5) PERMA No. 5 Tahun 2019 ini, Dispensasi Kawin merupakan pemberian izin kawin oleh pengadilan kepada calon suami atau isteri yang belum berusia 19 tahun untuk melangsungkan perkawinan.
Tercatat selama Tahun 2020 sebanyak 63.381 kasus pernikahan dini terjadi di Indonesia, meskipun pada tahun-tahun berikutnya mengalami penurunan tren pada tahun 2021 tercatat sebanyak 59.709 kasus dan Kembali turun pada tahun 2022 yang tercatat hanya sebanyak 50.747 kasus. Namun, ini masih termasuk banyak jika dibandingkan pada tahun 2019 yang hanya 23 ribu-an kasus.
Tren nikah dibawah umur (pernikahan dini) tersebut diatas sebanding dengan kasus yang terjadi rentang tahun 2022 hingga awal tahun 2023 di Kabupaten Madiun, sekitar 125 pasang atau 250 muda mudi mengajukan dispensasi nikah ke pengadilan. Banyak faktor yang dapat dikaitkan dengan meningkatnya tren nikah muda atau nikah dibawah umur ini. Salah satu faktor utamanya ialah pergaulan bebas.
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mencatat lebih kurang 60% remaja rentang usia 16-17 tahun melakukan kegiatan pergaulan bebas, sedangkan lebih kurang 20% terjadi pada remaja dengan rentang usia 14-15 tahun dan 20% terjadi pada remaja berusia 19-20 tahun. Pergaulan yang dimaksud tidak hanya berupa mengkonsumsi minuman keras (miras), mengkonsumsi obat-obatan terlarang dan tawuran, tetapi juga seks bebas yang merupakan bagian dari akibat pergaulan bebas. Pertanyaannya apa yang menjadi faktor banyak remaja Indonesia melakukan pergaulan bebas?
Sebenarnya banyak faktor yang mengakibatkan remaja-remaja Indonesia melakukan pergaulan bebas seperti minimnya tingkat Pendidikan keluarga, karena sejatinya keluarga merupakan tempat pertama bagi anak dalam tumbuh dan berkembang, apalagi jika minim dalam Pendidikan agama. Kedua, bisa saja itu terjadi dikarenakan broken home dimana situasi dan dan keadaan yang terjadi didalam rumah tidak nyaman bisa juga dengan orang tua yang selalu bertengkar dan bercerai sehingga membuat si anak tidak nyaman tinggal di rumah dan merasa kurangnya perhatian dari kedua orang tuanya, sehingga si anak mencari tempat pelampiasannya yaitu dengan melakukan pergaulan bebas. Ketiga, bisa juga dari faktor ekonomi yang serba berkekurangan yang menyebabkan si anak berhenti sekolah dan melakukan pergaulan bebas. Keempat, faktor lingkungan yang buruk juga dapat menjadi penyebab terjadinya pergaulan bebas dikalangan remaja. Kelima, penyalahgunaan internet dan kurangnya pengawasan orang tuanya terhadap penggunaan pada remaja juga dapat menjerumuskan para remaja kejurang pergaulan bebas.
Kampanye pernikahan dibawah umur atau nikah dini juga terjadi dikalangan publik figur. Banyaknya kalangan publik figur yang melakukan pernikahan dibawah umur menjadi contoh dan tren tersendiri dikalangan remaja Indonesia, sehingga dengan itu angka pernikahan dini masih tinggi di Indonesia. Misalnya saja, artis Malaysia yang Bernama Manohara yang menikah pada usia 16 Tahun, walupun pada tahun 2009 pernikahannya berakhir dengan perceraian. Kemudian ada juga Aurelia Moeremans yang menikah pada tahun 2011 lalu dalam usia yang baru 18 tahun, meskipun pada tahun 2014 pernikahannya kandas.
Ini menunjukkan nikah dibawah umur yang dilakukan publik figur juga menjadi daya tarik tersendiri bagi sehngga menjadi tren di kalngan remaja Indonesia. Walaupun Sebagian pernikahan dibawah umur yang dilakukan oleh publik figur berakhir dimeja hijau atau dengan kata lain diakhiri dengan perceraian. Karena memang pada saat usia labil pemikiran dapat berubah-rubah sehingga sering kali pernikahan dibawah umur ini berakhir dengan perceraian.
Selain dari adanya contoh atau kampanye dari publik figur adanya dorongan dari orang-orang terdekat juga menjadi suatu penyebab maraknya pernikahan di bawah umur. Misal, adanya dorongan dari orang tua karena melihat anaknya yang selalu kemana-mana berdua yang pada akhirnya dengan alasan menghindari perzinaan dan mempercepat ibadah, mereka menyarankan agar anaknya tersebut menikah saja walaupun belum cukup usia (dibawah umur).
Ini beberapa penyebab maraknya terjadi pernikahan dibawah umur. Kemudian apakah ada solusi untuk memberantas atau setidaknya memperkecil angka pernikahan dini ini? Ada beberapa solusi yang dapat dijadikan untuk permasalahan tersebut. Diantaranya memperkuat dan meningkatkan tingkatan Pendidikan di dalam keluarga terlebih lagi dalam segi Pendidikan agama, sehingga anggota-aggota keluarga dapat dicerahkan dengan pengetahuan bahwa Sebagian besar dari pernikahan di bawah umur hanya berujung pada perceraian. Itu dikarenakan usia masing-masing pasangan yang masih labih dan dapat berubah-rubah sewaktu-waktu.
Dengan adanya edukasi dan kampanye dari pemerintah melalui kementerian atau departemen agama atau bisa juga melalui Kontor Urusan Agama (KUA) mengenai bahaya dan dampak dari pernikahan dibawah juga bisa dijadikan suatu solusi dalam menekan angka pernikahan di usia dini. Dikarenakan peran pemerintah juga diperlukan dalam menekan angka pernikahan di bawah umur. Tak hanya sampai pada kampanye atau edukasi saja, peran pemerintah juga harus pada tingkatan penegakan hukum dengan tegas. Sehingga Tindakan-tindakan pergaulan yang menjadi penyebab terbesar dari pernikahan dapat ditekan.
Kemudian, pengawasan penggunaan gadget atau internet oleh orang tua juga dapat dijadikan solusi, karena bagi seorang remaja yang secara psikologis haus dengan keingintahuan dengan hal-hal baru, sehingga dengan adanya internet sebagai media dapat mempermudahnya dalam mengetahui hal-hal baru tersebut, dengan jika tidak ada pengawasan dari orang tua maka situs-situs yang seharusnya belum pantas untuk mereka lihat dapat terakses oleh mereka.
*) Isi tulisan sepenuhnya tanggung jawab penulis