Ballarat, Tarakan dan Sawahlunto
Oleh Andrinof A. Chaniago (Menteri PPN/Kepala Bappenas RI, 2014-2015)
Sabtu, 20 April 2024 kemarin saya kesampaian merealisasi niat saya untuk mengeksplorasi kota kecil Ballarat yang terletak berjarak 110 km dari Kota Melbourne. Salah satu motif saya tentu ingin tahu sejarah sukses kota kecil ini menjual story situs bekas tambang emas menjadi salah satu destinasi wisata terkenal di Australia.
Kota
ini
kini berpenduduk sekitar
116.000
jiwa
(perkiraan di
2024)
. Dari ukuran
jumlah penduduk, jumlah
penduduknya tidak sampai
separuh penduduk Kota
Tarakan
di Kalimantan
Utara yang saat
ini berjumlah sekitar 270.000 jiwa, dan sedikit lebih banyak dari penduduk Kota Sawahlunto di Sumatera Barat y
ang saat ini berjumlah sekitar 67.000 jiwa.
Kedua kota ini perlu saya ambil sebagai pembanding karena punya riwayat yang mirip dengan Ballarat dengan perkembangan yang berbeda. Usia Kota Ballarat sendiri saat ini sudah 164 tahun (terhitung sejak resmi menjadi kota pada tahun 1870). Cikal bakal kota ini berasal dari ditemukannya emas di tahun 1951.
Setelah penemuan emas tersebut, Ballarat langsung diserbu pendatang y
ang sebagian besar tentu saja pekerja tambang. Mereka datang beberapa gelombang setelah aroma emas Ballarat berhembus ke Eropa. Para imigran itu ada yang didatangkan dari Inggeris Utara (Scotlandia), ada yang dari Tiongkok. Daya tarik usaha tambang emas di pertengahan Abad 19 membuat penduduknya melonjak drastis dalam tempo singkat. Tidak sampai 10 tahun sejak aktifitas penambangan dimulai tahun 1951, penduduknya mencapai 60.000 jiwa. Tetapi tidak lama kemudian jumlah tersebut menurun karena ditemukannya beberapa lokasi deposit emas di wilayah lain Victoria.
Masa kelimpahan emas Ballarat berlangsung sekitar setengah abad (50 tahun). Tetapi, hebatnya penguasa wilayah ini ketika baru memasuki dekade ketiga aktifitas penambangan, mereka sudah berinisiatif (bukan saja berpikir) melakukan transformasi ekonomi. Mereka hidupkan sektor industri. Sehingga, di akhir Abad 19 Ballarat juga menjadi kota industri, selain kota tambang. Selain itu, penguasa kota juga membangun jalan kota yang lebarnya 40 meter yang hingga saat ini berfungsi sebagai jalan utama Kota Ballarat yang cukup lega.
Ballarat berhasil membedakan diri dari banyak kota eks tambang di beberapa negara di dunia yang banyak berubah menjadi kota hantu. Sementara, beberapa lainnya kota-kota eks tambang itu "hidup segan mati tak mau". Disinilah pentingnya kita mempelajari kunci keberhasilan Kota Ballarat meneruskan kehidupannya sebagai kota. Meskipun era tambang emas sudah lebih dari satu abad berhenti dan sebagai kota kecil industri juga tidak bisa berkembang karena pesona Kota Melbourne jauh lebih kuat, Ballarat minimal tetap bisa eksis sebagai sebuah kota.
Walaupun sudah berusia lebih satu setengah abad, Ballarat tetap berstatus sebagai kota kecil. Pertumbuhan penduduknya menunjukkan kota ini hanya mampu membuat ia meneruskan kehidupan untuk tidak menjadi kota hantu. Ia tidak tumbuh menjadi kota ukuran menengah, karena penduduknya saat ini hanya sekitar 116.000 jiwa. Dalam soal pertumbuhan, bandingkan dengan Batam, Kepri, misalnya, yang tahun 1975 penduduknya hanya 7.000 jiwa, tetapi kini menjelang 50 tahun dihuni sekitar 1,2 juta jiwa! Cara y
ang ditempuh pemerintah kota dan negara bagian Victoria Australia ini untuk membuat Ballarat tetap eksis adalah melakukan transformasi kedua dengan menjadikan Ballarat sebagai kota wisata. Selain itu, mereka mengembangkan institusi pendidikan yang sudah ada. Lembaga pendidikan akademi (college) yang lahir untuk memenuhi kebutuhan ekonomi pertambangan ditransformasi menjadi universitas yang melahirkan University of Ballarat, yang kemudian berubah menjadi Federal University.
Selain sudah punya tata ruang y
ang bagus dan jalan utama y
ang cukup lebar, fasilitas sosial di kota ini juga tumbuh dengan baik. Di kota ini, terdapat tiga perpustakaan publik.
Sebetulnya, modal Ballarat sebagai kota wisata tidaklah terlalu istimewa. Pemerintah kota hanya mengemas sebuah area seluas kurang lebih 10 hektar yang diberi nama Souvereign Hill. Area ini berintikan situs-situs tambang dengan pelestarian ekosistemnya. Di area ini kita akan dibawa berimajinasi ke masa lalu tentang ekosistem Kota Ballarat sebagai kota tambang. Semua jenis sarana, prasarana dan aneka peralatan tambang berada di posisinya. Di area itu berdiri situs sarana-sarana ekonomi lainnya, seperti hotel, bar, warung, bengkel sepatu kuda, kantor pos, sekolah, gereja yang didominasi bangunan kayu. Satu bangunan lainnya yang dijadikan penarik wasatawan adalah rumah pembuatan permen yang menyediakan demonstrasi pembuatan permen tiga kali sehari di setiap hari libur. Demonstrasi lainnya yang menghidupkan imajinasi pengunjung adalah kereta kuda penumpang yang ditarik 4 ekor kuda. Satu lagi adalah parade pasukan berseragam penjaga istana bernuansa Kerajaan Inggeris.
Dengan narasi sejarah yang ditulis secara ringkas dengan tampilan tulisan masa lalu di beberapa bangunan, berikut sejumlah media peraga, imajinasi pengunjung menjadi muncul. Pengunjung merasa betul-betul sedang berwisata.
Lalu, bagaimana dengan potensi wisata seperti ini di Indonesia? Wah, sejauh penelusuran saya, ada beberapa situs di tanah air yang potensinya lebih hebat dari Ballarat. Sekali lagi, kita bicara potensi. Sebutlah Kota Tarakan yang punya banyak peninggalan benda bekas tambang minyak dan sejumlah situs peninggalan Perang Dunia II. Sayangnya, bukan saja pelestarian storynya yang minim, tetapi situs-situs tersebut tidak dirawat secara khusus.
Satu lagi yang potensinya lebih hebat dari Kota Ballarat adalah Kota Sawahlunto di Sumbar sebagai kota eks tambang batubara tertua di Indonesia. Situs-situs yang ada di Kota Sawahlunto masih memperlihatkan ekosistem yang utuh. Selain lapangan olah raga dan pasar, juga ada bekas gereja peninggalan komunitas Belanda dan golongan Kristen yang dulu tinggal di kota ini. Satu lagi potensi wisata kota ini adalah nama sejumlah tokoh nasional yang lahir di kota ini. Sebutlah, misalnya, mantan Rektor Universitas PBB
, Dr. Soedjatmoko, dan pengusaha nasional yang juga eksponen '66, Sofjan Wanandi. Keduanya lahir di kota ini.
Belum lagi bicara kekuatan kuliner
dan produk kerajinan kain tenun dan kerajinan alat rumah tangga di daerah ini. Masih ada lagi modal potensial lain dari Sawahlunto ini, yakni rel kereta api yang melintasi sebuah terowongan sepanjang hampir 1 kilometer yang sudah diaktifkan pemakaiannya sejak setahun yang lalu. Di luar itu semua, Kota Sawahlunto adalah kota kecil yang indah di dasar sebuah lembah. Sementara
Ballarat, maaf, tidak punya keindahan alam sebagai lingkungan kotanya. Ballarat juga tidak punya kekayaan kuliner maupun produk kerajinan warga. Di toko souvenir di Souvereign Hill, produk-produk yang dijual banyak yang bertuliskan "Made in China".
Mengapa Kota Tarakan atau Kota Sawahlunto tidak bisa memunculkan daya tarik seperti Ballarat? Mari kita cari jawabannya.***