“GIRIANG-GIRIANG PERAK” (Oleh Makmur Hendrik) Bag 1
PENGANTAR:
Giring-Giring Perak ini novel fiksi. Namun beberapa fakta coba diungkapkan di dalamnya. Antara lain adalah tentang kekejaman Kompeni, tentang kebangkitan orang orang Minangkabau melawan penjajah.
Sayangnya perlawanan itu tidak terkoordinir. Karena orang orang Minang sendiri terpecah dalam puak – puak yang saling bermusuhan demi kepentingan masing masing. Akibatnya Belanda dengan mudah menghancurkan perlawanan yang datangnya dari kelompok kelompok kecil itu.
Kemudian juga tentang kekejaman para penyamun di Bukit Tambuntulang. Bahkan di sana suatu saat dahulu mereka menjadikan bukit itu sebagai suatu kerajaan hukum rimba yang menakutkan. Namun betapa pun jahatnya mereka, jauh di dalam hatinya, mereka ternyata juga anti pada penjajah!
Bukit Tambuntulang dalam cerita ini adalah yang terletak antara Pariaman dan Padangpanjang. Sebab dalam legenda Minangkabau ada beberapa tempat yang berbeda dengan nama yang sama.
Di bukit itu, nyawa anjing lebih berharga ketimbang nyawa manusia. Dalam cerita ini barangkali dapat diketahui sedikit tentang aliran dan asal usul pencak silat di Minangkabau. Semuanya ditulis dari bahan bahan dokumentasi / kepustakaan yang jauh dari memadai. @
Penulis
Bag: 1
Pedati yang berjalan paling depan tiba tiba dihentikan. Dua puluh pedati lainnya yang berjalan di belakang berhenti pula.
“Kenapa berhenti…? seorang lelaki yang berjalan di sisi pedati yang kesepuluh bertanya pada teman di depannya.
Entahlah…. jawab yang ditanya, kemudian menoleh ke depan, lalu berseru.
Ahooi… kenapa berhenti di sini…?
Tak ada jawaban. Perempuan perempuan menyembulkan kepalanya dari dalam pedati tersebut. Seorang lelaki kelihatan berjalan dari depan ke belakang. Nampaknya ada pesan beranting yang disampaikan.
Dalam waktu singkat, para lelaki pengiring pedati itu sudah berkumpul di depan sekali. Di dekat pedati Datuk Sipasan yang bertindak sebagai pimpinan rombongan. Datuk yang bertubuh besar dan kelihatan berisi itu duduk di sebuah batu besar.
Dia melemparkan pandangannya pada seluruh lelaki yang kini tegak mengelilinginya. Menatap wajah mereka. Melirik tombak di tangan atau pedang dan keris di pinggang mereka. Mulutnya mengunyah sugi tembakau. Kemudian meludahkannya ke tanah.
Kalian lihat bukit itu? katanya tanpa menoleh, tapi ibu jarinya dia acungkan ke belakang.
Semua lelaki yang jumlahnya 20-an orang itu mengikuti arah ibu jari datuk ini. Mereka memang melihat sebuah bukit. Dipenuhi hutan belantara. Dan nampaknya kini mereka tengah menuju ke arah bukit tersebut. Beberapa orang mengangguk. Tapi lebih banyak yang diam.
Itulah Bukit Tambuntulang, ujar datuk itu, seperti tak acuh.
Kali ini semua lelaki di depannya pada menoleh kembali ke bukit tersebut. Kalau tadi dengan sikap tak mengerti atau acuh tak acuh, kini dengan sedikit berdebar. Bahkan ada yang melihat bukit itu dengan sedikit rasa takut.
Bukit Tambuntulang? tanya seseorang dengan nada lemah.
Datuk Sipasan tak menyahut. Mengeruk kantong bajunya, mengambil segumpal tembakau. Meremasnya kuat kuat. Membuat tembakau itu mirip kelereng, atau godok kecil. Kemudian menyelipkannya ke mulut, jadi sugi. Lalu dengan sikap hampir hampir tak acuh dia bicara.
Tak ada jalan lain. Ini satu satunya jalan yang terdekat, dan mudah untuk mencapai Luhak Tanahdatar….
Terdekat, mudah, tapi belum tentu aman…. seseorang lelaki gemuk memakai golok di pinggang menyambung ucapan datuk itu.
Semua yang hadir pada menoleh padanya.
Kenapa pakai kalimat belum tentu aman? Jalan ini memang paling tidak aman! Datuk Siapasan menegaskan. Mulutnya berpiuh piuh memainkan suginya.
Lalu bagaimana?
Kita akan terus! jawab Datuk Sipasan.
Apakah di bukit itu masih ada penyamun? tanya yang bertanya barusan.
Bersambung……