“GIRIANG GIRIANG PERAK” (Oleh; Makmur Hendrik) Bag ke 52…
Bagi yang belum baca Bag 1 s.d Bag 51 klik disini;
Sambungan dari Bag 51…
Sebab siapa pun di Minangkabau saat ini akan tahu, bahwa jika telah terperangkap di Bukit Tambuntulang, tak ada harapan untuk selamat. Jika ada juga yang selamat, seperti rombongan Datuk Sipasan misalnya, itu adalah karena Tuhan menciptakan semacam keajaiban. Yaitu dengan kemunculan si Giring giring Perak yang tangguh.
Hal itu dimaklumi oleh Rudolf. Dia sudah merasa, bahwa dia takkan lagi dapat melihat tanah Nederland. Tanah kelahirannya. Sebagai jawaban atas makiannya, terdengar suara mengejek.
“He… he, Ulando tumbuang. Apakah ciritmu tidak akan memenuhi serawa kalau aku muncul di hadapanmu?
Bangsat kowe!! Kita orang jangan dibikin garah garah ya!! Belanda itu memaki dengan bahasa yang tak begitu jelas sambil menembakkan lagi pistol yang telah dia isi.”
Tapi tembakan itu tetap saja tak kunjung mengenai sasaran. Dan, tiba tiba sehabis sipongang tembakan itu terdengar suara perlahan.
Baik, saya akan keluar. Tapi sebelum saya keluar, salah seorang di antara kalian akan kena tombak punggungnya. Kalian sudah terkepung… Nah, siap siaplah menerima ajal….
Keenam lelaki mata mata Kapten Verde itu bukan main ngerinya. Mereka berputar putar di tempat mereka tegak, takut punggungnya jadi sasaran tombak. Beberapa orang bersandar ke batu besar.
Sebab mereka ingin melindungi punggung mereka dari sasaran tombak seperti yang diancamkan oleh suara dari orang yang tak kelihatan itu. Hening.
Mereka menyalangkan mata keliling. Mereka berada dalam sungai yang kering. Di atas mereka adalah tebing yang berhutan lebat. Mereka tak dapat melihat apa apa dalam rimba itu.
Tiba tiba terdengar sesuatu bergerak di samping Rudolf. Dia melompat dan menghadapkan pistolnya ke sana. Letusan terdengar. Tapi keadaan kembali sunyi. Tiba tiba sesuatu melayang menerpa punggung Belanda ini. Dia terpekik, terlambung dan pistolnya jatuh.
Tubuhnya menggigil. Tapi dia ternyata tak apa apa. Sehat walafiat. Dia meraba punggungnya. Tak ada tombak. Tak ada apa apa yang melukainya. Sebagai jawaban dari tindakannya itu terdengar suara tawa berkumandang.
“Tidak hanya dari mulut seorang tapi dari mulut puluhan orang yang ada di atas tebing sana. Tawa itu bersahut sahut. Mencemooh dan memandang rendah.
Hoi Ulando penggacar, pulanglah waang ke rumah….!!” kata seorang penyamun dari palunan belukar.
Suara tawa itu terhenti tiba tiba. Empat batang tombak melesat. Kali ini kedua Belanda itu terkejut bukan main. Mereka terpaku di tempat mereka tegak. Sebab di hadapan mereka, empat batang tombak menancap dalam sekali hanya sejari dari ujung kaki mereka.
Dan tiba tiba, di hulu sungai itu, hanya berjarak enam depa dari mereka, seseorang muncul dan tegak di atas batu. Keenam mata mata dari Kabunsikolos yang dikirim oleh Kapten Verde itu menoleh.
Lelaki yang tegak di batu itu, berpakaian serba merah, dengan akar bahar besar di tangan kanannya yang memegang sebuah tombak.
Kalian telah lancang memasuki perkampungan kami. Dan setiap orang yang masuk tanpa izin, berarti mati. Kalian datang untuk memata matai kami pula. Telah kami biarkan kalian masuk mendekati kampung.
Tapi malah ada di antara kalian yang menikmati wanita peliharaan kami. Hmm, mengasyikkan juga menonton permainan kalian di atas bukit di dalam semak itu… he… he…
Wajah Cudai dan Rudolf jadi pucat. Kiranya kehadiran mereka di bukit itu sudah diketahui sejak semula. Yang memalukan lagi, permainan mereka dengan perempuan yang mereka sergap di atas tadi ditonton oleh penyamun penyamun itu dari tempat yang tak terlihat. Alangkah memalukannya.
Hei, Ulando yang jangkung, apakah nikmat permainanmu tadi? Apakah kau mau melakukan sekali lagi? He… he…
Wajah Rudolf jadi merah padam karena malu dan berang. Tapi diam diam dia mengintai kesempatan. Dia yakin tak ada waktu untuk meloloskan diri. Dia yakin puluhan mata mengintip setiap gerak mereka dari atas tebing.
Kepala penyamun ini mustahil akan menampakkan diri di depan musuh kalau dia tidak dijaga dengan ketat oleh anak buahnya. Tapi dia masih membuat spekulasi. Kalau pimpinannya ini mati anak buahnya tentu panik. Kalau itu terjadi, ada kemungkinan mereka melarikan diri.
Kemungkinannya memang tipis sekali. Tapi ada baiknya dicoba, pikirnya. Dia mengukur jarak antara tempatnya tegak dengan kepala lanun itu. Ada sekitar tujuh depa. Sulit juga untuk membunuhnya.
Paling paling hanya melukai. Dan pelurunya ini adalah peluru yang terakhir. Tempatnya tegak agak menguntungkan. Di depannya tegak Togoh, salah seorang anggota mata matanya. Kalau dia mengangkat pistol dan menembakkannya, dia akan terlindung dari penglihatan lelaki di atas batu itu.
Karena itu ketika Gampo Bumi masih tertawa dia mengangkat pistolnya cepat. Sebelum gelak Gampo Bumi berakhir dia menarik picu pistolnya. Namun lebih cepat lagi reaksi kepala penyamun ini. Indera dan firasatnya yang tajam dapat meraba bahwa orang orang yang terkurung ini pasti nekad.
Begitu sudut matanya melihat salah seorang mencidonya. Tangan kanannya yang bertombak bergerak dengan cepat. Rudolf memang melindungkan diri di balik tubuh Togoh. Tangan kanannya yang bebas terjulur di sebelah kanan tubuh Togoh. Namun berhadapan dengan penguasa Bukit Tambuntulang itu, mereka seperti tiada arti sama sekali.
Tombak di tangan kanannya meluncur dengan cepat. Melebihi, kecepatan anak panah. Sasaran pertama adalah tubuh Togoh. Tubuh lelaki ini ditembus tombak itu sedikit di bawah lehernya.
Bersambung ke bag 53…
Catatan Redaksi: Foto ilustrasi diatas Lisda Hendrajoni tidak ada kaitannya dengan cerbung ini.