Cerita Bersambung

GIRIANG GIRIANG PERAK ( Oleh : Makmur Hendrik) Bag 60..

Bagi yang belum baca 1 s.d 59 klik dibawah ini:

GIRIANG GIRIANG PERAK (Oleh: Makmur Hendrik) Bag 59

Sambungan dari 59…

Dia memberi isyarat. Dua orang temannya yang datang pertama menghentak kuda mereka. Kuda itu dengan tiba tiba meloncat ke depan. Masuk ke kedai yang terbuka darimana gadis dan dua lelaki tadi keluar.

Sesaat setelah mereka masuk, orang orang di luar hanya mendengar suara hiruk pikuk. Suara dentaman tembakan dan pekik kesakitan berbaur dengan ringkik kuda. Gadis yang keluar tadi memekik dan berlari ke dalam. Tapi langkahnya hanya sampai di pintu.

Dia harus menyingkir tiba tiba tatkala dua tubuh dilontarkan dari dalam. Kedua tubuh itu tergeletak dengan leher hampir putus berlumuran darah. Gadis itu memekik memeluk salah satu tubuh tersebut.

Kemudian, kedua serdadu yang masuk tadi keluar kembali. Kuda mereka meringkik mengangkat kaki depannya tinggi tinggi.

“Setiap perlawanan yang dilakukan kepada Kompeni, akan menerima pembalasan seperti ini…!!” seru sersan itu pada orang orang yang melihat pembantaian itu dari jauh.

Semua orang di pasar itu berusaha bersembunyi sejauh mungkin dari penglihatan Kompeni tersebut. Mana yang tak sempat bersembunyi, maka mereka merapatkan diri ke dinding kedai dan tegak dengan diam.

Melihat pembantaian dan ucapan sersan itu dengan tak berkutik. Tindakan ini merupakan semacam pembalasan terhadap pembunuhan yang dilakukan oleh Gampo Bumi pada Kapten Verde dan anak buahnya di Padangpanjang. Peristiwa itu sudah sebulan berlalu.

Selama sebulan ini pula Jenderal De Kock memerintahkan untuk mengadakan gerakan pembersihan. Selama ini, pemuka-pemuka suku yang dikenal agak keras dibiarkan saja oleh Kompeni. Tapi kini pada ditangkapi.

Luhak Agam dan Luhak Tanahdatar merupakan luhak yang paling parah dalam operasi pembersihan yang dilakukan serdadu serdadu Kompeni ini. Luhak Tanahdatar jadi parah karena di sanalah bersemayamnya perampok perampok Tambuntulang yang membunuh Verde itu.

Tapi De Kock sampai saat ini masih belum mau menyerang habis habisan bukit itu. Dia merasa kekuatan serdadunya tak mencukupi untuk menyerang penyamun di sana. Lagi pula, jalan ke sana amat parah. Dewasa ini jalan itu tak dipakai lagi.

Bila orang akan menuju Painan atau Padang, termasuk serdadu Belanda, mereka harus melewati jalan memutar ke Solok dan Sitinjau Laut. Jalan yang alangkah jauhnya. Tapi itu adalah satu satunya jalan yang dianggap aman.

Lagipula, jalan melalui Bukit Tambuntulang tak bisa juga dipakai, sebab jembatannya runtuh ketika Verde akan melewatinya. Dulu jembatan itu sengaja diruntuhkan oleh anak buah Gampo Bumi. Dan sampai saat ini tak ada orang yang mau bekerja memperbaikinya. Takut disergap oleh penyamun penyamun itu.

Luhak Agam jadi parah oleh operasi adalah karena luhak ini sudah sejak lama didapat informasi adanya gerakan gerakan yang menentang Belanda. Gerakan itu terutama kabarnya berpusat di Tilatang Kamang.Dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh.
Kemudian di Pandaisikek dan Bonjol. Selama sebulan, banyak sudah orang orang yang ditangkap. Tapi Tuanku Nan Renceh sendiri tak pernah berhasil ditahan.

Jenderal de Kock terpaksa menumpu kekuatannya di kota kota saja. Dia tak berani menyerang Tambuntulang, khawatir dengan demikian penjagaan kota akan lemah.

Penduduk biasanya sudah arif kalau setiap saat mereka melihat pasukan kuda berlari dengan senjata terhunus di kampung atau di tengah balai. Itu pertanda ada lagi orang yang ditangkap. Penduduk biasanya hanya diam.

Sementara pemuka pemuka adat atau pemimpin pemimpin pergerakkan tak berani membalas. Sebab saat itu belum ada koordinasi yang rapi diantara mereka. Mereka belum siap untuk melakukan serangan balasan.

Makanya Tuanku Nan Renceh memerintahkan pengikut pengikutnya untuk bertebar dan bersembunyi dahulu menjelang kekuatan tersusun dengan baik. Itulah sebabnya kenapa tak ada yang berani berkutik menghadapi perlakukan bengis dari serdadu Kompeni hari itu di Pasar Banto.

Setelah berteriak mengancam, sersan tadi memerintahkan mengikat tangan kedua lelaki yang berniat melarikan diri itu. Kemudian dia sendiri turun dan merangkul gadis yang tengah menelungkup menangisi salah satu mayat yang dilemparkan dari dalam kedai tersebut, gadis itu meronta.

Tapi apalah artinya perlawanannya di tangan sersan bertubuh besar dengan lengan ditumbuhi bulu lebat itu. Pakaian gadis itu sudah robek robek ketika dia berusaha melepaskan diri dari renggutan Kompeni itu.

Tubuhnya ditenteng dan didudukkan di atas punggung kuda. Kemudian sersan itu menyusul duduk di belakangnya. Dia berjalan di depan. Kemudian ketiga serdadu lainnya berbaris di belakangnya.
Di belakang mereka berjalan kedua lelaki yang tangannya terikat itu. Tangan mereka diikatkan dengan tali panjang ke pelana kuda serdadu serdadu tersebut. Mereka harus berjalan cepat mengikuti jalan kuda. Jika tidak demikian, tubuh mereka akan terseret di sepanjang jalan.

Keempat serdadu berkuda tersebut berjalan membelah balai yang sepi itu. Orang orang hanya melihat dengan diam dari pinggir kedai atau dari balik peti peti jualan. Keempat Belanda itu berjalan dengan pongah menyeret tawanan mereka dan memangku gadis cantik itu.
Mereka berjalan seperti pasukan yang baru pulang dari peperangan besar yang mereka menangkan. Matahari pagi bersinar garang membuat bayang bayang mereka jadi jelas bergerak di jalan yang lacah.

Namun di ujung jalan yang akan mereka tempuh, terjadi keributan kecil. Orang orang pada berseru dan berbisik. Semua orang menoleh ke ujung jalan yang akan dilalui serdadu Kompeni itu.

Dari ujung jalan tersebut, terdengar suara dering perlahan. Amat perlahan dan lembut, namun seperti suara gema yang dibisikkan ketelinga setiap orang.

Kring … kring kring … kring …

Suara giring giring! Seorang anak muda bertubuh semampai, berpakaian serba putih, melangkah perlahan menyongsong arah datangnya keempat serdadu itu. Di kaki kanannya ada giring giring perak yang berkilau diterpa cahaya matahari.

Giring giring itulah yang menimbulkan bunyi perlahan, yang terdengar di sepanjang jalan pasar yang lengang itu.

Hei buyung bergiring giring! Menghindarlah dari jalan itu, jika waang masih ingin melihat matahari terbit esok pagi…. seru seorang lelaki dengan suara tertahan.

Namun si buyung itu melangkah terus. Mereka cemas dan kasihan melihat nasib anak muda yang cukup gagah ini. Namun lelaki tadi, karena kasihannya masih ingin menolong anak muda itu dari kematian yang mubazir. Dia berseru lagi tatkala keempat serdadu berkuda itu sudah tinggal.

Bersambung ke bag 61….

Catatan redaksi. Foto diatas foto Lisda Hendrajoni Calon DPR-RI dari partai Nasdem, tidak ada sangkut pautnya dengan cerbung ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *