Cerita Bersambung

“GIRIANG GIRIANG PERAK” (Oleh; Makmur Hendrik) Bag ke 53…

Bagi yang belum baca Bag 1 s.d Bag 52 bisa klik disini;

“GIRIANG GIRIANG PERAK” (Oleh; Makmur Hendrik) Bag ke 52…

Sambungan dari Bag 52…

Tombak itu terbenam terus, dan jebol ke belakang. Kemudian menghantam dada Rudolf persis pada hulu jantungnya!
Dan saat itulah pistol di tangannya menyalak. Namun arah pistol itu sudah tak betul. Pelurunya yang terdiri dari serbuk mesiu dan serpihan baja halus itu justru menghantam seorang anggotanya yang tegak di bagian kanan.
Kontan mata mata ini rubuh dengan dada robek oleh serpihan peluru pistol itu. Jarak tembaknya hanya satu depa! Dalam waktu yang sangat singkat, tiga nyawa mata mata dari Kabunsikolos itu melayang ke neraka! Sungguh luar biasa. Yang tiga lagi terperangah dan tegak dengan tubuh menggigil.

“Hei, kalian monyet yang dikirim oleh kerbau yang bernama Verde, jangan kalian harap bisa memata matai bukit ini. Di antara kalian hanya seorang yang akan kami kirim pulang untuk memberitahukan pada kerbau yang jadi komandan kalian itu. Bahwa lima anggotanya telah menjadi bangkai di sini.
Agar kerbau kurap bernama Verde itu bersiap siap. Dia telah lancang menugaskan kalian datang memata matai kami kemari. Hukuman untuk Ulando itu hanya satu: Mati! Nah, siapa yang berniat untuk menyampaikan pesan saya itu padanya, silahkan maju dan berlutut di sini…!”

Dua mata mata Melayu yang sejak tadi memang telah menggacar, segera membuang keris dan kelewang di tangan mereka. Kemudian mereka melompat ke depan, saling mendahului untuk berlutut di depan Gampo Bumi. Agar merekalah yang pulang hidup hidup membawa pesan itu.

Namun salah seorang di antara mereka harus lewat di depan Kopral Belanda yang masih hidup, yang bernama Stein. Stein menembak lelaki itu dari belakang. Begitu lelaki itu rubuh dengan punggung berlobang lobang, dia membuang pistolnya yang kosong.

Lalu melompat pula ke depan. Dia menjatuhkan diri berlutut di depan Gampo Bumi bersamaan dengan Cudai yang masih hidup pula. Ya, dalam waktu yang hanya beberapa saat, empat orang dari mata mata itu telah mati.
Kini hanya tinggal dua orang. Satu orang bernama Cudai, dan yang satu lagi Kopral Belanda bernama Stein. Gampo Bumi tertawa bergumam melihat kedua orang itu berlutut di depannya memohon untuk dibiarkan terus hidup.

Dia memberi isyarat, dan tiba tiba puluhan anak buahnya muncul di atas tebing dengan senjata di tangan. Kemudian dia terdengar berkata dengan lantang.

Hari ini kita akan menyaksikan suatu perkelahian antara dua mata mata. Satu mata mata Belanda, dan satu lagi mata mata Melayu yang berniat menjual negerinya pada orang asing…!

Kemudian dia berkata kepada kedua mata mata yang tengah berlutut di depan kakinya itu.

“Baik, kalian akan saya kirim pada Kapten Verde di Kabunsikolos. Tapi yang akan saya kirim hanya satu orang. Tidak dua orang. Karenanya kalian harus bertarung untuk bisa kembali ke sana. Kalian harus berkelahi memperebutkan karcis pulang itu….” Sehabis berkata begini, dia melemparkan dua batang tombak ke dekat kedua mata mata itu. Cudai menyambar tombak itu cepat. Betapa pun jua, dia harus kembali hidup hidup. Tiga isterinya yang masih muda muda menanti di Tanahhitam.
Namun Stein tak mau ketinggalan. Dia tak biasa bermain tombak. Namun amat ahli dalam bermain kelewang. Kini, mereka berdua berhadapan. Anak buah Gampo Bumi saling bersorak. Beberapa orang lalu membuka taruhan. Ada yang tegak di pihak Cudai, tapi banyak yang tegak di pihak Belanda itu.

Segera saja kelompok penyamun penyamun itu berbagi dua. Yang berpihak pada Cudai berteriak teriak mengambil tempat di tebing sebelah kiri Gampo Bumi. Yang berpihak pada Stein berlarian ke sebelah satunya lagi.

“Ayo spion Melayuuu, bunuh Ulando itu. Bunuh! Bunuh! Jangan sampai waang yang pugat di Bukit Tambuntulang ini. Tusuk perutnya…!!” seru yang berpihak pada Cudai memberi semangat.

Tapi yang menjagoi Stein tak mau kalah, mereka berseru seru pula sambil bertepuk tepuk tangan.

“Ayo Belanda kerempeng, tebas saja leher spion Melayu itu dengan pedangmu. Ayoooo! Kalau kau menang, separoh uang taruhan ini boleh kau ambil. Dan di atas sana ada seorang perempuan milikku, kau pakai dia dua hari dua malam. Ayooo….!!”
Pekik sorak diselingi tawa gemuruh merobek belantara Tambuntulang yang biasanya hanya memperdengarkan nyanyian maut itu. Mereka berpekikkan. Gampo Bumi tertawa menggerendeng melihat anak buahnya bersuka ria.

Mereka memang mendapat hiburan hari ini. Jarang peristiwa seperti ini terjadi. Biasanya hiburan mereka hanyalah main perempuan. Atau berjudi bila tak ada mangsa yang lalu. Kini mereka menonton orang berperang mempertahankan nyawanya.

Begitulah kehidupan, bila sudah sampai pada soal hidup atau mati, orang lupa pada harga diri. Musuh yang baru saja dibenci, demi keselamatan diri harus disembah. Jika perlu, mereka harus saling bunuh sesama teman untuk kehidupan mereka.

Di kalangan pesilat aliran putih, yaitu pesilat pesilat yang mengutamakan keperwiraan dan kebenaran, hal seperti yang dilakukan dua mata mata ini takkan pernah terjadi.
Pesilat pesilat aliran putih lebih baik mati berjuang sampai tetes darah terakhir melawan ratusan penyerang dari pada harus mati saling berbunuhan dengan teman sendiri demi keselamatan pribadi. Dari sikap kedua mata mata ini dapat diukur sampai dimana moral mereka sebenarnya.

Sementara itu, perkelahian di antara kedua orang itu makin seru. Bahu Cudai telah luka menganga dihantam kelewang Stein. Tapi semangatnya untuk hidup megalahkan rasa sakit yang dia rasakan. Dia memang ahli dalam bermain.

Bersambung ke bag 54…

Catatan Redaksi: Foto ilustrasi kita sesuaikan dengan Pilkada jari jari yang telah ikut mencoblos…

One thought on ““GIRIANG GIRIANG PERAK” (Oleh; Makmur Hendrik) Bag ke 53…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *