.

LAUT NATUNA MEMANAS DI TEROBOS CHINA, APA SIKAP INDONESIA ?

Oleh : Anton Permana*)

Kembali kita dihebohkan oleh insiden provokasi kapal coast guard angkatan laut China di laut Natuna utara. Ketika kapal coast guard china tidak mengindahkan teguran keras dari kapal Bakamla RI yang menginstruksikan agar kapal coast guard China yang sengaja mengawal ratusan kapal nelayan china beroperasi di wilayah ZEEI (Zona Economic Exclusive Indonesia). Namun, kapal coast guard China tidak mengindahkan peringatan keras kapal Bakamla RI yang kebetulan memang sedang melakukan ptaroli rutin dan mendapatkan informasi inteligent bahwa ada pergerakan kapal nelayan China dalam skala besar menuju perairan Natuna atau lebih dikenal dengan nama Laut China Selatan.

Perang statemen dan saling panggilpun terjadi antara pemerintahan Indonesia (dalam hal ini kemenlu RI) terhadap dubes China. Namun sehari setelah pemanggilan itu, China entah sengaja atau memang mau menguji kesiap-siagaan angkatan laut Indonesia kembali melakukan pelanggaran terhadap teritorial ZEEI Indonesia. Bahkan dengan tegas juru bicara Menteri Luar Negeri RRC Geng Shuang dalam keterangan persnya 2 Januari 2020 menyatakan, “Pihak China secara tegas menentang negara manapun, organisasi atau individu yang menggunakan arbitrase tidak sah untuk merugikan China”. Maksudnya adalah, pada tahun 2016 Philipina telah membawa sengketa perbatasan dengan China ini kepengadilan arbitrase internasional yang hasilnya mengalahkan dan mementahkan klaim China atas 9 garis putus-putus di laut China selatan. Segala argumen China tentang peta kuno dan sejarah kuno tradisional China dimentahkan pengadilan arbitrase. Namun bukan China namanya, negara tirai bambu ini tidak mengakui hasil pengadilan tersebut.

Dari sini kita bisa melihat, bahwasanya untuk konflik perbatasan dengan China itu Indonesia tidak sendirian. China juga tercatat memiliki banyak konflik perbatasan dengan negara tetangganya. Mulai dari Rusia, Jepang, Korea Selatan, dan juga dengan negara di Asia Tenggara seperti Vietnam, Malaysia, Thailand, Brunei dan Philipina.

Agresifitas China ini semakin memperkeruh suasa regional Asia Tenggara dengan dibangunnya pangkalan militer terbesar dan pertama kalinya diluar wilayah China di kepulauan Spratly. Pangkalan militer ini (pulau buatan) sudah rampung dan beroperasi dengan sedikit catatan, pangkalan militer ini juga dilengkapi fasilitas pelabuhan kapal induk China Lioning dan Shandong. Dan dalam perspektif ancaman militer, ini sudah tidak bisa dianggap remeh lagi. Khususnya bagi negara di kawasan Asia Tenggara yang selama ini terkenal damai dan tentram.

Lalu bagaimana dengan sikap Indonesia ? Apa yang mesti dilakukan ? Apa sebenarnya yang sedang bermain dibalik ini semua ?

Untuk itu penulis akan mencoba menganalisa dan menelaah konflik Natuna ini secara komprehensif dan integral. Sebagai bahan referensi kita dalam menyikapi konflik laut Natuna utara ini.

1. Sebenarnya konflik pelanggaran wilayah ZEEI dan pengusiran nelayan Indonesia serta pengawalan nelayan China ini sudah terjadi berulang kali. Alasan klasik normatif yang selalu diberikan China adalah ; laut Natuna utara adalah bahagian laut tradisional China yang termaktub dalam alibi ‘nine dash line’ (9 garis putus-putus). Walaupun klaim sepihak ini telah dipatahkan oleh pengadilan arbitrase internasional pada tahun 2016 yang lalu. Namun China dengan arogan mengabaikan itu semua dan tetap ngotot mengklaim laut Natuna utara adalah tetitorial mereka.

2. Secara ekosistem dan iklim laut. Di sampaikan bahwa, pada setiap akhir tahun ini, samudera pasifik lautnya sedang bergolak karena musim moonson timur yang mengakibatkan ikan-ikan tidak bertelur dan melakukan migrasi kearah arus laut yang lebih hangat yaitu laut Natuna. Makanya para nelayan China mengejar migrasi ikan ini sampai ke laut Natuna yang relatif lebih tenang. Namun apapun itu, modus ini tidak bisa dibenarkan karena telah melanggar kedaulatan teritorial wilayah laut Indonesia yang dudah di akui dalam hukum kaut konvensi internasional yaitu UNCLOS 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea). Dimana China dan Indonesia adalah negara yang ikut meratifikasi kedalam undang-undang negaranya.

3. Mesti kita pahami dan sadari bersama, bahwasanya laut Natuna utara adalah teritorial kedaulatan NKRI sesuai UNCLOS 82. Dimana, di area laut ini terkandung dan ditemukan cadangan sumber daya migas yang luar biasa, bahkan OPEC mencatat terbesar kedua setelah cadangan Migas Arab Saudi dan Qatar. Diperkirakan ada 23 trilyun MBTU gas ditemukan di dalam perut laut Natuna utara. Ini adalah harta karun bangsa Indonesia yang mesti dijaga.

Selanjutnya yang juga mesti ketahui adalah: Laut natuna utara adalah sangat strategis. Karena pertemuan silang dari lalu lintas kapal dari 5 benua. Baik yang dari Asia timur, samudrea pasific Amerika, dari Afrika dan Asia selatan, dan Australia melalui ALKI (Arus Laut Kepulauan Indonesia) serta selat Malaka.

IMO merilis pada tahun 2018 yang lalu diperkirakan hampir 600 ribu kapal melewati laut China selatan atau laut Natuna utara ini setiap tahunnya. Atau boleh dikatakan 60 persen komoditas perdagangan dunia melewati laut ini. Dan 80 persen distribusi Migas dunia juga melewati laut Natuna utara yang kalau dikonversikan kedalam dolar nilai perdaganngannya trilyunan dolar Amerika.

Angka ini tentu akan sangat fantastis dan bernilai strategis apabila dijadikan sebagai komoditas jasa kemaritiman dan cadangan energi dunia kedepannya.

4. Letak strategis laut China selatan ini, sangat dipahami china sebagai potensi lahan ekspansi strategis dari proyek BRI (Belt and Road Initiative) China. Yaitu China akan menghidupkan kejayaan imperium China dimasa lampau berupa mengaktifkan kembali jalur sutera tardisional China dimasa lalu. Namun, para pakar dan analis dunia melihat hal tersebut hanyalah kamuflase China dalam mewujudkan mimpi mereka untuk menguasai dunia.

Kalau kita lihat dalam peta, maka kita dengan mudah juga akan memahami korelasi strategis pangkalan militer China di Spratly dengan laut China selatan dan rencana membangun terusan Kra di Thailand Selatan. Untuk memangkas rute perjalanan keselat Malaka. Sehingga akan menghemat rute dan jalur pelayaran 2-3 hari apabila melewati terusan Kra.

Dan penulis menganalisis, pembangunan pangkalan militer, dan ‘pencaplokan’ laut China selatan adalah test case dari strategi geopolitik China dalam membaca sikap ASEAN. Apakah solid atau tidak. Karena, jelas apabila skenario pencaplokan laut China selatan ini berhasil, maka boleh dikatakan China akan berkuasa penuh atas 80 persen jalur perdagangan dunia. Termasuk dalam mengeksplorasi kekayaan alam migas yang terkandung di dalam perut laut China selatan.

5. Dengan penjelasan singkat di atas, kita tentu dapat memahami dan menganalisis kemana arah dan strategi geopolitik-geostrategi China kedepan. Ambisi China untuk menjadi negara Adi Kuasa menggantikan Amerika sudah tidak terbendung lagi dan sudah mulai terbuka.

Strategi obligation trap (jebakan hutang) melalui investasi kepada negara negara berkembang seperti Pakistan, Malaysia, Angola, Zimbabwe, bahkan Indonesia disinyalir telah dapat didikte negara itu untuk tunduk dan ikut arah kebijakan politik China dalam ambisinya menguasai dunia.

6. Amerika sebenarnya sudah membaca ini semua walau boleh dikatakan sedikit terlambat. Konsentrasi Amerika selama ini memerangi Islam di Arab Spring, membuat mereka kecolongan sendiri dengan kebangkitan China di belahan dunia utara. China sudah terlanjur menjadi raksasa baru dunia dalam ekonomi. Tinggal selangkah lagi akan mengejar kedigjayaan Amerika dalam hal teknologi militer.

Untuk itulah Amerika mengeluarkan kebijakan pertahan terbarunya pada tahun 2019 yang lalu bernama US INDOPACOM yg membentuk segitiga pertahanan dunia di kawasan Asia Pasific yaitu kombinasi antara India-Australia-Jepang dalam hal persiapan membendung ekspansi China.

Indonesia sebenarnya juga kecipratan rejeki dari geliat dan agresifitas China ini. Yaitu Amerika mencabut embargo militer terhadap Indonesia sehingga Indonesia dapat meningkatkan kemampuan militernya kembali untuk mengimbangi kekuatan militer di kawasan. Kondisi ini sebenarnya bisa dimanfaatkan Indonesia, selagi Amerika butuh aliansi negara untuk membendung China.

7. Sudah saatnya negara Asia Tenggara kembali duduk bersama untuk menyatukan sikap dan persepsi tentang China. Jangan sampai ada dusta di antara kita. Maksudnya adalah ; di dalam UN Chapter nomor 8 protokol Kyoto tahun 1969 menyatakan bahwa ; Setiap negara di regional kawasan diperkenankan untuk membentuk aliansi pertahanan untuk mempertahankan dirinya di kawasan. Hal ini telah diterapkan oleh Amerika dan negara Eropah dalam aliansi pertahanan NATO.

Namun kendalanya adalah, sikap mendua para negara Asia Tenggara itu sendiri yang masing terikat oleh kepentingan kultural dan bilateralnya masing-masing. Seperti contoh ; Thailand, Vietnam, mempunyai hubungan kultural spritual dengan China. Sedangkan Malaysia, Brunei dan Singapore juga masih terikat dengan aliansi FPDA (Five Power Defense Agreement). Lalu Philipina dan Indonesia yang pemimpin negaranya sangat pro China dan boleh dikatakan kaki tangan China.

Di dalam sebuah seminar tahun lalu di Jakarta. Penulis menangkap sinyalemen, sebenarnya negara Asia Tenggara sangat menunggu apa sikap Indonesia sebagai ‘big brother’s’ nya Asia Tenggara. Namun sikap menciut dan tiarap Indonesia khususnya presiden Jokowi terhadap China, menjadikan negara Asia Tenggara terpecah belah dan belum satu suara. Padahal kalau negara Asia Tenggara kompak dan seirama, mereka bisa bangun kerja sama maritim patroli keamanan, atau bahkan pos pertahanan-keamanan negara Asia Tenggara di laut China selatan. Kalau ini terlaksana, China pasti akan berpikir dua kali untuk bertindak macam-macam. Tetapi bukan China namanya, kalau hal ini sudah jauh mereka antisipasi dengan menguasai para pemimpin negara Asia Tenggara melalui hutang dan sponsor politik pemilu.

8. Indonesia harus tegas kalau berbicara kedaulatan. Tak ada kata tawar menawar kalau kita berbicara kedaulatan. Bahkan kalau sampai angkat senjata negara ini mesti siap apapun resikonya. Kalau tak percuma saja slogan NKRI harga mati selalu kita ucapkan setiap saat.

Untuk itu, dalam ranah ini jangan beri peluang para politisi atau para opportunis di negara ini ikut campur mengambil kebijakan. Karena pasti akan menggunakan berbagai alibi agar Indonesia mengalah, lunak, dan lembek terhadap China.

Kita sudah punya sejarah ketika Panglima besar Jendral Soedirman ‘terpaksa’ bersebrangan dengan Presiden Soekarno ketika agresi militer Belanda I yang memilih menyerah dan bersedia ditangkap tanpa perlawanan. Namun dengan Kesatria Jendral Soedirman tetap bersikukuh melakukan perang gerilya melawan Belanda. Karena bagi Pak Dirman, Politisi boleh berunding tetapi Tentara, demi kehormatan bangsa dan negaranya tak ada tawar menawar selain merdeka atau mati. Dan ini adalah sejarah pertama konflik militer dengan politisi sipil di negara kita.

Apa pesan yang kita ambil disini. Ada saatnya kita mengalah dan berkerja sama. Namun kalau berbicara atas nama teritorial kedaulatan negara, satu jengkal pun haram untuk dilepas sesuai amanat konstitusi kita.

9. Penulis melihat insiden laut China selatan adalah test case dari China untuk menguji dan mengetahui sikap politik Indonesia. Karena penulis tetap berpikiran, China tetap akan berpikir beribu kali untuk menggunakan kekuatan militer untuk mencaplok laut China selatan. Pola tekanan politik terhadap penguasa negara akan lebih efisien dari pada harus berperang.

Sehebat apapun kekuatan militer sebuah negara. Perang hanyalah akan menimbulkan kerugian dan kemelaratan. Kita bisa melihat sejarah pada Perang dunia I dan II. Atau ketika Uni Soviet menginvansi Afghanistan atau Amerika menginvansi ke Irak. Akhirnya, perang jugalah yang menguras sumber daya negara yang mengakibatkan ekonomi negara mereka ambruk di ambang krisis. Irak yang berpenduduk 28 juta dengan kekuatan militer sudah lumpuh karena dilucuti saja Amerika mesti menghabiskan anggaran perang 3 trilyun dolar.

Jadi menurut penulis, China saat ini akan sangat rentan kalau mau menggunakan cara militer untuk mencaplok laut china selatan. Apalagi pertumbuhan ekonomi China saat ini mulai melambat. Para negara Afrika yang selama ini didiktepun sudah mulai melawan. Belum lagi kisruh Hongkong, ancaman Taiwan dan konflik Uyghur-Tibet-Mongolia adalah bom waktu dalam tubuh China yang siap meledak kapanpun juga. Sejarah perang telah menjadi pelajaran bagi China yang pernah terpuruk ribuan tahun

10. Sebagai negara yang berdaulat. Penulis berharap para petinggi bangsa ini mesti tegas dan keras. Serta menjadikan hal ini sebagai instropeksi internal. Artinya ; kita mesti sadar dan harus percaya diri untuk berdiri di kaki sendiri. Dengan modal kekuatan sendiri. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar. Penduduk 270 juta adalah modal utama sishankamrata (sistem pertahanan rakyat semesta) negara kita. Makanya diresmikannya UU nomor 23 tahun 2019 tentang PSDN (Pemanfaatan Sumber Daya Nasional) sebagai instrumen bela negara bangsa Indonesia. Sudah saatnya kesadaran bela negara atau wajib militer diterapkan bangsa Indonesia. Untuk terus memupuk rasa nasionalisme, patriotisme dan siap sedia setiap saat ketika pertiwi memanggil membela negara

Begitu juga dengan alutsista (alat utama sistem pertahanan) negara kita. Kalau saat ini kita dalam posisi ranking ke 16 dunia versi majalah Global Military Fire Power, bagaimana melalui renstra MEF (Munimum Esensial Force) tahap III ini Indonesia memodernisasi persenjataannya secara fundamental.

Karena sudah lazim, kekuatan militer suatu negara akan korelasi dengan wibawa negara itu dimata dunia. Negara yang secara militer kuat, maka juga akan mempunyai wibawa serta ‘deterrent effect’ yang kuat juga.

Indonesia perlu mengakuisisi peralatan tempur darat, laut, dan udara yang mutakhir. Dengan tetap memperhatikan kemandirian dalam negeri. Manfaatkan kerja sama strategis dengan negara maju seperti Korea Selatan, Turkey, bahkan Amerika sekalipun.

Kalau perlu, manfaatkan kondisi mutualisme ini untuk meng up grade persenjataan Indonesia. Kelemahan Indonesia hari ini adalah dalam hal jumlah pesawat tempur, rudal jarah jauh (pertahanan udara), radar dan kapal perang mutakhir. Inilah saatnya Indonesia meminta privilage khusus agar melengkapi kemampuan alutsistamya secara paripurna.

Begitu juga dalam hal kesiap-siagaan laut dan perbatasan. Perlu kejujuran kita bersama khususnya para stake holders, bahwasanya masih banyak area bolong (kosong) patroli laut dan perbatasan yuridiksi Indonesia. Masih terdapat timpang tindih penjagaan laut lintas intansi internal Indonesia. Baik itu secara basis personil, logistik, alutsista, dan skema patroli yang masih belum efektif dan efisien.

Kelemahan inilah yang dibaca dan diketahui pihak luar. Sehingga hal ini menjadi celah bagi mereka untuk menerobos kedaulatan kita. Tetapi kalau skema patrolinya rapat, dengan alutsista mutakhir dan personil yang terlatih, maka hal ini akan meningkatkan wibawa angkatan perang Indonesia. Jadi penulis berharap, perlu langkah strategis dan konkrit pemerintah untuk menutupi celah kelemahan ini

11. Penulis juga berharap jangan sampai ada dusta di dalam tubuh para pembuat kebijakan di negeri ini. Jangan hanya demi perut dan kantong pribadi, para pejabat negeri ini menjual harga diri bangsanya kepada China. Dengan mengeluarkan komentar tidak perlu dan menjurus melemahkan posisi Indonesia. Penulis berharap para pejabat kelas penjilat dan pengkhianat ini jangan diberi ruang dan waktu untuk menjadi ‘agent’ alias jongos China di Indonesia.

Berbagai alibi dan alasan pasti akan mereka lontarkan. Namun, apapun itu sebagai rakyat Indonesia kita akan mendukung langkah positif negara dalam bersikap tegas terhadap China. Ingat sentimen anti China sedang bergemuruh di penjuru dunia tentang kebiadaban China di Uyghur. Sekali China salah langkah dan mencari gara-gara dengan Indonesia ? Ibarat pemantik, maka hal ini akan menjadi sumbu ledakan yang pasti akan merugikan China itu sendiri.

Ancaman rasisme dan sentimen anti China akan menjadi amunisi ampuh di seluruh dunia untuk menghukum dan memerangi China. Maka China akan menjadi musuh bersama dunia akan bisa terlaksana. Amerika pun pasti akan memanfaatkan momen ini.

Bagi kita Indonesia, prinsipnya hanya satu ‘ NKRI harga mati’. Dan penulis yakin dengan kemampuan TNI dan rakyat Indonesia. Kalau kita bersatu, China bukanlah apa-apa. InsyaAllah.

Batam, 03 Januari 2020.

*) Penulis adalah Direktur Eksekutif Forum Musyawarah Majelis Bangsa Indonesia dan alumni PPRA 58 Lemhannas RI tahun 2018).

Baca juga :

MENATAP INDONESIA 2020 ; REFORMASI HARI INI SOLUSI ATAU ILUSI ??

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *